RSS

Minggu, 26 Desember 2010

Wiskul, Yuk!

Sekarang lagi giat-giatnya foto-fotoin makanan. Kenapa ya? Karena suka aja. Seneng aja gitu liat foto makanan. Hihihi..

Wisata kuliner yuuuukkk! :)))




Yaaa cuman mau nulis itu doang sih :p

December Sensation....

In December, you can feel Christmas sensation is so strong.
Don't wanna miss it, my friends and I took some pictures with the Christmas Tree.
Merry Christmas 2010! :)


feels like home




*pictures were taken at Bandung Indah Plasa (22/12/2010)

Selasa, 14 Desember 2010

Confession of a Book-Buyer


Those are books I haven't read.
Besides, I had bought it months ago!
Sometimes I think I just tempted to buy books rather than to read them.
That's why I called myself a 'book-buyer', not a 'book-eater'!
But really I want to read them.
I just need a good mood =)

23761

Aku pelacur tulen.

Tapi aku penari sejati.

Dan aku Belanda berdarah Indonesia.


MATA HARI, nama yang tercatat di berbagai literatur, terutama dihubungkan dengan spionase, mata-mata, intrik, juga sensualitas.

Hidup di seputar akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Mata Hari seperti mewadahi berbagai gejolak zaman yang menjadi ciri khas pergantian abad, sampai kemudian terseret menjadi agen ganda bagi Prancis dan Jerman pada Perang Dunia I. Dalam novel ini, dikisahkan periode hidupnya yang belum banyak disingkap, yakni hidup Mata Hari di Indonesia.

Kira-kira itulah sinopsis buku Namaku Mata Hari karangan Remy Sylado. Sebelum diterbitkan, novel ini dijadikan cerbung di harian Kompas. Gw sempat mengikuti cerita ini saat dimuat di Kompas. Kisah yang sangat menarik, yang mengangkat kisah hidup seorang pelacur Belanda berdarah Indonesia. Belum baca semuanya sih, dan rencananya akan segera beli novelnya. Hohoho. Yak, cerita tentang pelacur, pernikahan, dan kekerasan pada perempuan memang selalu menarik minat gw. That's just..... interesting :)

Well, siapa sih Remy Sylado? Mungkin sudah banyak yang ngenalin dia. Ada juga yang nggak tahu sama sekali. Gw sendiri juga tahunya dari dosen tercinta yang sering banget ngomongin kehebatan Remy Sylado.

Remy Sylado (23761) mempunyai nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong. Ia memang memiliki banyak nama samaran, seperti Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, dan Jubal Anak Perang Imanuel. Bisa dibilang Remy Sylado itu orang yang benar-benar luar biasa. Bakatnya itu banyak banget. Ia adalah seorang wartawan, sastrawan, pelukis, dramawan, bahkan ahli bahasa. Katanya, ia bahkan mengkritik doktor bahasa. Padahal, ia bukan ahli bahasa. How come???!

Kemarin, tepatnya pada tanggal 13 Desember 2010, ada acara bedah buku Namaku Mata Hari di PSBJ Unpad. Gw akhirnya bolos kuliah dan mengikuti acara itu eheheheh... Penasaran juga sama sosok Remy Sylado. Seperti apa sih dia? Dan... jeng-jeng.... Kesan pertama ngeliat, wah gaul! Meskipun sudah berumur 65 tahun, ia masih sangat stylish. Kayak Elvis Presley deeeh...

Dan ketika bedah buku dimulai.. Kesan selanjutnya... wah, gokil! Ia tipe orang yang berbicara blak-blakan. Kalau istilah komunikasi, dikenal dengan sebutan konteks rendah. Bicara mengenai selangkangan pun ya bebas saja. Memang di novelnya banyak adegan vulgar yang ia katakan itu adalah buah imajinasi yang indah. Dan ia memang benar-benar ahli bahasa! Ia bahkan menyebutkan asal kata atribut yang ia pakai dari atas sampai bawah (baju, kalung, celana, sampai sepatu). Dari atas sampai bawah nggak ada yang asli bahasa Indonesia! Orang yang sudah membaca novelnya mengatakan banyak sekali kosa kata di dalam novelnya yang tak ada di kamus Bahasa Indonesia.

Gw sih melihat ia memang benar-benar punya ketertarikan pada bidang etimologi. Gw juga melihat jiwa wartawannya yang masih bergelora walalupun sekarang ia tidak bekerja sebagai wartawan lagi. Dalam menulis novel, ia mengumpulkan data dan fakta dengan sangat rinci. Semuanya ia perhitungkan dengan baik. Bahkan, ia rela untuk mencari arsip-arsip tua yang sangat sulit dicari. Wah, salut deh sama 23761.. =D

Sabtu, 11 Desember 2010

Maybe I'm An Introvert?


Suddenly miss my mom

I miss her... And always love her
But why oh why so hard to tell that to her :(

Aku Tidak Ingin Menjadi Insan Biasa

Sebuah penggalan puisi di malam ospek, yang kami bacakan dengan dipaksa....

Aku Tidak Ingin Menjadi Insan Biasa

Aku tidak ingin menjadi insan biasa
Adalah hakku untuk menjadi insan luar biasa
Aku tidak ingin seperti katak dalam tempurung,
Rendah diri, tertutup, sombong, dan mudah tersinggung
Aku siap menerima segala risiko untuk gagal dan segala risiko untuk sukses

Aku siap bekerja keras walaupun tanpa derma
Aku lebih memilih tantangan hidup
Daripada selalu diberi derma
Aku tidak akan menjual kebebasanku,
Tidak akan menjual harga diriku
Hanya untuk mendapatkan derma
Aku tidak suka merendahkan diri
Pada segala macam kesombongan
Ancaman, rasa iri, dengki, dan kemalasan

Sudah menjadi warisanku:
Untuk berdiri tegak, megah, dan berani


Cukup memotivasi dan memberi semangat kepada saya yang selalu merasa bahwa saya hanyalah seorang insan biasa.

Jumat, 10 Desember 2010

Perempuan, Dunia dan Perjuangannya

Berikut ini adalah hasil tugas saya untuk mata kuliah Wawancara. Sengaja saya pilih topik yang dekat dengan saya, yaitu perempuan dan berbagai permasalahannya untuk diangkat menjadi topik wawancara. Membicarakan perempuan dan permasalahannya tak akan ada habisnya. Sungguh topik yang menarik. Beruntung, narasumber saya adalah sosok yang ramah dan rendah hati dalam menjelaskan ilmunya kepada saya yang masih 'cetek' ini. Dia adalah Saparinah Sadli, pejuang kesetaraan gender.


Saya dan Ibu Sap

Prof. Dr. Saparinah Sadli:

Membedakan Cara Tak Apa, Asal Jangan Perempuan Dianggap Lebih Rendah


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang masih marak terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat, secara akumulatif, sejak 2004-2007 ada sebanyak 25.788 kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI), 1.693 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Anak (KTPA), 2.548 Kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan 467 kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini turut disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan, budaya, media, turut menjadi faktor terjadinya KDRT.

Di tengah ketidaktahuan masyarakat mengenai kesetaraan gender, Prof. Dr. Saparinah Sadli, seorang ahli psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,Ketua Pertama Komnas Perempuan (1998-2004), dan pendiri Pusat Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, sudah memperjuangkan kesetaraan gender sejak ia muda. Selain aktif menulis artikel dan tulisan ilmiah menyangkut isu perempuan, ilmuwan perempuan yang masih terlihat segar, sehat, dan cantik di usianya yang ke-83 tahun ini juga telah menulis beberapa buku menyangkut perempuan, seperti Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (2007) dan Berbeda tetapi Setara (2010).

Perempuan adalah dunia dan perjuangannya. Berikut ini petikan wawancara mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, Yohannie Linggasari, dengan Ibu Sap (begitu Saparinah Sadli akrab disapa), di rumahnya yang asri, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/10) sore:

Faktor utama penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masih rendahnya pendidikan perempuan. Pendidikan di Indonesia semakin maju, tetapi mengapa angka KDRT terus meningkat?

Itu tidak benar. Rendahnya pendidikan itu hanya faktor kecil penyebab terjadinya KDRT. Masalah KDRT itu sangat bervariasi. Banyak perempuan berpendidikan tinggi yang mengalami KDRT. Bukan perempuan dengan pendidikan rendah saja.

Biasanya korban KDRT ini sendiri tertutup dan memendam masalah ini sendiri, bukan?

Biasanya orang yang mengalami KDRT dan melapor bukan yang pertama kali mengalaminya. Biasanya mereka sudah berkali-kali mengalami kekerasan. Mereka mungkin menganggap hal itu biasa, atau tidak boleh dilaporkan oleh orang tuanya. Bila akhirnya mereka melapor, mungkin sudah bertahun-tahun sampai akhirnya mereka tak kuat lagi. Alasan tidak langsung melapor itu macam-macam, di antaranya karena secara ekonomis tidak mandiri, ada yang malu, atau kasihan dengan anak-anaknya. Masalahnya sangat bervariasi menyangkut ekonomi, psikologi, dan budaya.

Apakah akan terjadi pengulangan kasus serupa pada anak yang hidup dalam keluarga KDRT?

Ya karena dia sudah sering menyaksikannya, dia merasa hal itu biasa terjadi. Perempuan akan merasa dipukul itu biasa, sedangkan laki-laki menganggap memukul itu biasa. Akan ada kecenderungan melakukan pengulangan. Orangtua harusnya memahami apa yang ia lakukan bisa ditiru anaknya.

Dari aspek psikologi, adakah ciri-ciri laki-laki yang suka melakukan kekerasan?

Dari penelitian yang sudah dilakukan di luar negeri, pelakunya bisa siapa saja. Memang ditemukan bahwa di setiap diri laki-laki berpotensi melakukan kekerasan. Di psikologi tak ada yang typical. Kalau dari sisi korban ada victim blaming, artinya, yang disalahkan korbannya. Atau dari perempuannya sendiri kurang bisa menjalankan perannya sebagai istri atau ibu.

Apakah benar kalangan yang paling sering mengalami KDRT adalah kalangan bawah?

Tidak. Tidak ada data yang seperti itu. Korbannya bervariasi.

Budaya tampaknya sudah sangat mengakar dan turut menyebabkan ketidaksetaraan, bukan?

Ya. Makanya muncul gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender tersebut. Dulu namanya meningkatkan status perempuan. Kemudian muncul yang namanya gerakan feminisme. Setelah ada istilah feminisme, ada istilah ketimpangan gender.

Apa sebenarnya maksud gender?

Gender itu adalah peran sosial yang diajarkan karena jenis kelamin tertentu. Gender adalah konstruksi sosial dan budaya terhadap seseorang tergantung di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, ia akan berperilaku sesuai nilai budaya setempat. Tetapi setelah dilahirkan, ia diajarkan dan dituntut untuk sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Belajar hal-hal tertentu yang dianggap sesuai atau pantas. Itu berkaitan dengan gender. Orang yang dilahirkan adalah makhluk biologis kemudian menjadi manusia yang beradab, bersosial budaya. Contohnya saja, di Indonesia menerima sesuatu dengan tangan kanan dianggap sopan, sedangkan di Amerika tangan kanan atau kiri sama saja.

Kesetaraan gender mencakup hal apa saja?

Semua kehidupan bersama, seperti lingkungan kerja, lingkungan rumah, dan pendidikan. Intinya adalah setiap manusia diperlakukan sama. Perempuan atau laki-laki.

Tampaknya selama ini terjadi pengotak-ngotakkan gender. Contohnya saja, biasanya bayi laki-laki diberi baju warna biru, sedangkan bayi perempuan diberi baju warna pink.

Ya memang. Sudah ada stereotipe seperti itu. Contohnya saja, stereotipe untuk sifat perempuan adalah manis, sedangkan laki-laki kuat.

Stereotipe-stereotipe yang ada bisa dibilang turut melemahkan perempuan, bukan? Contohnya saja, masih banyak orang menganggap sosok pemimpin yang pantas itu laki-laki?

Karena ada stereotipe bahwa perempuan lebih emosional dan kurang tegas. Maka dibilang yang pantas menjadi sosok pemimpin adalah laki-laki. Padahal kenyataannya banyak perempuan yang tegas dan banyak laki-laki yang konyol.

Tampaknya peran media turut berperan dalam stereotipe itu, bukan? Contohnya saja, sinetron banyak memperlihatkan sikap perempuan yg cengeng, tertindas, dan cerewet.

Ya memang. Media sangat berpengaruh pada penguatan stereotipe itu. Media itu memperkuat stereotipe yang negatif terhadap perempuan. Padahal, kenyataannya banyak perempuan yang tegas dan tegar. Yang muda harusnya mendobrak itu semua.

Jadi, media itu harusnya mengubah stereotipe itu?

Ya, tapi bukan media saja. Perempuan juga harus sadar. Kenyataannya, banyak perempuan yang tak mau mengubah stereotipe itu. Sekarang yang muda seharusnya tidak begitu.

Walaupun sudah sering digaungkan di Indonesia, masih banyak orang yang mencibir, baik laki-laki dan perempuan tentang gerakan perjuangan kesetaraan gender ini?

Ya, karena stereotipe itu sangat mengakar. Dan lagi, orangtua masih menerapkan hal-hal seperti itu.

Jadi, sebagai orangtua harus bagaimana mendidik anaknya?

Orangtua harus mengajarkan hal yang sama pada anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan berarti laki-laki dan perempuan harus sama. Namun, mereka harus punya keberanian, ketegasan, dan akses yang sama. Seringkali di keluarga, bila harus memilih, laki-laki yang disekolahkan karena anggapan laki-laki yang harus mencari uang. Padahal, sekarang sudah banyak perempuan yang mencari uang karena ekonomi yang lemah. Sebenarnya membedakan cara tak apa, asal jangan perempuan dianggap lebih rendah.

Apakah sosialisasi mengenai pentingnya kesetaraan gender sudah sampai ke masyarakat menengah ke bawah?

Menteri pemberdayaan perempuan dulu pada awalnya sudah fokus pada perempuan di pedesaan. Tetapi kan seharusnya perempuan mana saja harus diberdayakan. Justru yang lebih ketat itu menengah ke atas. Untuk masyarakat bawah bisa kita lihat orang yang berjualan laki-laki dan perempuan sama, karena mereka tak punya banyak pilihan kan. Mereka justru tak begitu ketat.

Saat ini sudah banyak undang-undang yang melindungi perempuan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Pornografi, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010. Apakah undang-undang tersebut sudah efektif?

Belum. Seharusnya yang menegakkan itu bukan hanya menteri pemberdayaan perempuan. Seharusnya dari semua aspek pemerintah turut memberikan kesamaan pada perempuan dan laki-laki. Namun, memang sudah lebih baik daripada dulu. Esensinya kan mengubah nilai-nilai dan itu tidak mudah. Sekarang saya lihat sudah banyak kemajuan, contohnya saja menteri, direktur, wakil menteri, banyak yang diduduki oleh perempuan.

Tampaknya agama juga turut memengaruhi penilaian terhadap perempuan. Misalnya saja, poligami. Perempuan harus rela dimadu oleh suaminya. Padahal, dalam poligami itu perempuan seringkali menderita.

Rasanya masyarakat masih banyak yang salah menafsirkannya. Agama bilang kan boleh asal adil, sedangkan mereka kan tidak pernah bisa adil.

Bagaimana dengan nasib Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita yang seringkali mengalami penyiksaan di luar negeri?

Hal itu disebabkan oleh aturan perlindungan dari pemerintah yang tidak jelas. Kejadian di sana tak dapat dilepaskan dari bagaimana mereka diberangkatkan. Apalagi, TKW di sana kan di dalam rumah majikannya terus sehingga sulit dikontrol. Aturan di dalam negeri harus diatur sedemikian rupa, sehingga TKW mendapatkan perlindungan secara jelas.

Ada anggapan, secara fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki.

Kata banyak orang begitu. Tapi sebenarnya itu relatif. Sekarang saya beri contoh begini, laki-laki disuruh bermain tenis melawan Serena Williams, kira-kira siapa yang menang? Jangan mengikuti stereotipe yang konyol itu. Yang melahirkan itu hanya perempuan lho, dan itu diperlukan fisik yang kuat.

Undang-Undang Pengembangan Keluarga dan Populasi Nomor 52 Tahun 2009 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 mengizinkan pemberian layanan kesehatan hanya kepada pasangan yang telah menikah, serta pemasangan alat kontrasepsi yang harus meminta persetujuan suami. Sementara, bagi pasangan yang tidak menikah, tidak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Bukankah ini diskriminatif namanya?

Ya, sangat diskriminatif. Perempuan di segala tingkatan umurnya perlu pelayanan kesehatan yang khusus. Perempuan menikah atau tidak menikah harus mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Saat ingin melakukan pap smear, pasti ditanya nama suaminya siapa. Padahal, dari remaja harus sudah mendapat layanan itu. Begitu juga dengan kontrasepsi. Saat ini, banyak yang secara seksual aktif, mereka harusnya bisa jaga diri supaya tak kena penyakit kelamin. Semua itu adalah masalah kebutuhan, bukan masalah moral. Semua perempuan harus mendapatkan layanan sesuai dengan kebutuhannya.

Komnas Perempuan pada awalnya terbentuk karena adanya kejadian Tragedi Mei 1998. Tragedi Mei 1998 tersebut menyimpan banyak luka perempuan karena kasus pemerkosaan yang terjadi. Bagaimana kelanjutan akan kasus ini? Apakah pemerintah sudah mengakui?

Kasus pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998 masih tidak jelas sampai sekarang. Pemerintah tidak mau mengakui. Selain itu, kebanyakan korban pemerkosaan tak mau membicarakannya lagi. Namun, Komnas Perempuan masih berupaya untuk membuka kasus ini.

Kabarnya, yang menjadi korban kebanyakan adalah etnis Tionghoa?

Ya, sebagian besar, tetapi tidak semuanya.

Bagaimana dengan kasus jugun ianfu yang sampai sekarang juga tidak ditangani pemerintah?

Kasus jugun ianfu ini merupakan kasus internasional yang belum tertangani. Sebenarnya Jepang sudah mau memberikan kompensasi. Tetapi uangnya bukannya diberikan untuk korban, malah diberikan ke panti jompo. Pemerintah tak mengerti.

Harusnya itu masuk ke kurikulum sejarah Indonesia agar menjadi peringatan bagi kita semua, bukan?

Ya, tentunya.

Dulu Anda pernah masuk ke Komnas HAM, kemudian Anda keluar. Katanya karena perbedaan prinsip? Bisa diceritakan?

Ya, karena situasi Komnas HAM saat itu seperti terbelah, tak segigih sebelumnya dalam menguak kasus-kasus. Apalagi tentang kasus perempuan, tak dipedulikan.

Bagaimana Anda dididik dulu?

Saya dari keluarga Jawa yang tradisional. Memang dibedakan perempuan dan laki-laki, tetapi orangtua saya tidak membedakan pendidikan perempuan dan laki-laki. Saat saya menikah, suami saya pun membebaskan. Hal itu sangat individual. Saya sebagai perempuan memang dibedakan. Misalnya saja, zaman dulu saya seringkali tidak dibolehkan pergi naik sepeda. Sedangkan saudara laki-laki saya selalu diperbolehkan.

Tokoh feminis yg Anda idolakan?

Waktu muda, idola saya Marie Currie. Saya merasa dia perempuan yang hebat karena pekerja keras dalam mencapai keinginannya.

Ke depannya Anda yakin perjuangan kesetaraan gender ini akan terus berlanjut?

Oh, tentu. Tetapi dari pihak perempuannya sendiri juga harus mau dan berani memperjuangkannya.

Nyatanya, dari kalangan mahasiswa sendiri banyak yang tak peduli?

Ya, memang banyak yang tak peduli. Tapi banyak juga yang peduli. Memang masih banyak yang menikmati kebebasannya sendiri.


Sekilas mengenai narasumber:

Nama: Prof. Dr. Saparinah Sadli
Tempat, tanggal lahir: Tegalsari, Jawa Tengah, 24 Agustus 1927
Suami: Prof. Dr. Ir. Mohammad Sadli, MSc

Pendidikan:
• Europesche Lager School Purwokerto, 1933-1940
• Sekolah Menengah Pertama, Semarang dan Yogyakarta, 1942-1945
• Sekolah Asisten Apoteker, Yogyakarta, 1946-1948
• Sarjana Muda Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1953
• S1 Fakultas Psikologi Universitas indonesia, 1961
• S3 Fakultas Psikologi Universitas indonesia, 1976

Pekerjaan:
• Dosen-Dekan Fakultas Psikologi UI
• Ketua Pusat Kajian Perempuan UI 1990-2000
• Anggota dan Wakil Ketua Komnas HAM 1996-2000
• Ketua Komnas Perempuan 1998
• Kelompok Kerja Convention Watch
• Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 13-15 Mei 1998, 23 Juli-23 Oktober 1998




Senin, 29 November 2010

Bukan Sekadar Tanya Jawab!

Sebagai mahasiswi jurnalistik, yang namanya wawancara rasanya sudah mulai akrab dengan kehidupan saya. Setiap kegiatan pencarian data setidaknya memerlukan proses wawancara. Apalagi, ada mata kuliah wawancara. Tentunya, semakin membuat saya akrab dengan wawancara. Sebelum saya masuk jurusan jurnalistik, saya pikir wawancara itu mudah saja. Hanya sekadar tanya jawab. Yang penting, mengumpulkan nyali di awal untuk membuka percakapan. That's all. Namun, setelah saya masuk jurusan jurnalistik, wawancara menjadi tampak menantang dan tidak bisa ditebak. Saya belajar bahwa wawancara itu bukan hanya tanya jawab semata. Wawancara yang baik sangat tergantung pada pewawancaranya. Bila pewawancaranya 'kaya', wawancara akan menjadi sangat bermutu. Namun, bila pewawancaranya 'miskin', wawancara tersebut menjadi biasa saja. Pewawancara harus mempersiapkan materi sebaik-baiknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (lagi-lagi masalah deadline yang keramat itu). Karena itu, rasanya suka membaca adalah hobi wajib bagi setiap calon jurnalis. Dan saya, harus berusaha lebih keras untuk dapat mempunyai hobi seperti itu. Hehe.

Sampai saat ini, saya telah melakukan proses wawancara beberapa kali. Tidak terlalu banyak, sih. Tetapi, lumayan untuk menambah pengalaman. Mulai dari pedagang Gede Bage, alumni Fikom, manajer Speedy, orang lansia (di mana saya kesulitan karena pendengarannya yang buruk), mahasiswa, supir angkot, dan ilmuwan. Kira-kira itu yang bisa saya sebutkan. Begitulah, seorang jurnalis harus bisa berkomunikasi dengan rakyat kalangan bawah hingga kalangan atas. Wawancara yang saya lakukan lancar-lancar saja (tidak mengalami hambatan yang berarti) sampai saya kemudian mewawancarai seorang ilmuwan. Wawancara dengan ilmuwan ini saya lakukan untuk tugas kuliah saya. Saya mengambil topik perempuan dan kemudian memutuskan untuk mewawancarai seorang dosen yang ahli di bidang psikologi perempuan.

Seorang ilmuwan tentunya pintar. Apalagi, seorang dosen, pastinya ia sangat tahu kelemahan mahasiswa. Dan saya melakukan kesalahan yang fatal dengan kurang mempersiapkan diri saya! Well, saya memang sudah mempersiapkan diri saya, kok! Saya sudah browsing mengenai berbagai masalah perempuan, mondar-mandir ke situs Jurnal Perempuan dan Komnas Perempuan, dan membeli Kompas Jumat (karena pada hari Jumat ada rubrik Swara yang mengangkat isu mengenai perempuan dan anak). Setidaknya itulah yang telah saya lakukan dengan batasan waktu yang ada. Memang, konsentrasi saya sedikit terpecah saat itu karena ada masalah lain. Lalu, dengan pedenya saya ke rumah narasumber saya di Bandung.

Saya tidak menyangka wawancaranya berjalan dengan sangat kacau. Narasumber selalu balik bertanya ketika saya bertanya sehingga pertanyaan saya tidak terjawab. Ia bahkan selalu menanyai saya apakah telah membaca referensi-referensi yang ia punya. Salah satunya adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang tentunya sudah tak asing lagi. Wah, jujur saya belum baca! Dan saya sangat malu. Sebagai pelajar tentu sudah sangat familiar dengan buku itu. Namun, apakah semua pelajar yang mengetahui buku itu telah membacanya? Saya rasa tidak. Narasumber saya menjadi semakin 'kelewatan' setelah mengetahui saya belum membaca buku yang menurut dia adalah buku wajib para pelajar di Belanda. Sepertinya ia sudah keburu negative thinking dengan saya yang tampak sangat bodoh di depannya. Dan begitulah, wawancara saya amburadul sampai akhir. Benar-benar wawancara terburuk hingga saat ini.

Saya merasa seperti ujian. Bahan yang saya pelajari tidak keluar di soal! Sementara bahan yang tidak saya pelajari malah keluar! Ya, begitulah. Saya tahu saya salah karena belum membaca buku sakral (untuk topik perempuan) itu. Terus terang, saya sudah mencoba mencari buku itu di toko buku. Namun, yang saya dapatkan adalah buku-buku biografi Kartini. Apa boleh buat. Tapi sungguh, saya merasakan narasumber saya sepertinya sentimen dengan yang namanya wawancara. Tampaknya ia pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan terkait wawancara. Mungkin hanya perasaan saya saja, tetapi saya merasa ia seperti mencari-cari kesalahan saya. bahkan, dia mengomentari pakaian saya(yang sopan), yang rasanya tak perlu, bukan?

Seusai wawancara itu, (yang sebenarnya tak dapat disebut sebagai wawancara) saya merasa sangat down. Dowwwwwwnnnn sekali! Saya merasa bodoh dan tolol. Padahal, keesokan harinya saya sudah ada janji lagi mewawancarai seorang ilmuwan lain dengan topik yang sama. Saya menjadi pikir-pikir, apakah besok saya harus wawancara? Bagaimana bila saya diperlakukan begitu lagi oleh narasumber saya? Apalagi, narasumber yang satu ini rumahnya di Jakarta (yang berarti saya harus berangkat dari Jatinangor ke Jakarta). Saya takut pengorbanan saya sia-sia. Setelah curhat dengan teman saya, saya akhirnya memutuskan untuk wawancara narasumber yang di Jakarta itu. Tentunya, saya sudah lebih matang mempersiapkan diri saya. Bila sebelumnya saya belum membaca keseluruhan undang-undang menyangkut perempuan dan anak, seperti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Pornografi, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No 1 tahun 2010, malam itu saya membaca semua undang-undang tersebut. Benar-benar saya kapok dimarahin narasumber!

Keesokan harinya saya kemudian berangkat ke Jakarta dari Jatinangor mencari rumah narasumber. Untung ada google map yang memudahkan saya! Setelah saya browsing di google map, ternyata rumah narasumber berdekatan dengan SMA Panghudi Luhur I. Beruntung juga saya mempunyai teman yang dulunya bersekolah di SMA PL I itu sehingga saya bisa menanyakan jalan ke sana. Dengan bermodalkan arahan dan petunjuk dari teman saya, seorang diri saya menjelajah ke rumah narasumber. Saya akui sedikit menegangkan. Yang namanya bertanya itu wajib bila kita sudah bingung. Ingat, malu bertanya sesat di jalan! Dan untunglah, saya sampai di rumah narasumber dengan selamat. Begitu sampai di rumahnya, saya kembali deg-degan. Saya sudah pasrah saja bila saya diperlakukan seperti sehari sebelumnya. Namun, ternyata narasumber saya yang satu ini sangat ramah dan welcome. Saya bahkan dikasih cemilan dan teh(yang sangat enak itu... yummy!!). Selain itu, saya juga diberi bukunya. Waaww, benar-benar baik! Wawancara pun berjalan dengan lancar seperti mengobrol saja. Walau saya akui, saya masih banyak kekurangan sebagai pewawancara yang baik.

Pengalaman tersebut memberi saya dua pelajaran. Pertama, persiapan wawancara harus dilakukan semaksimal mungkin. Jangan pernah males-malesan mempersiapkan wawancara. Semakin kaya pewawancara akan informasi, akan semakin bagus juga hasil wawancaranya. Kedua, jangan pernah menyerah. Walaupun mengalami kegagalan sebelumnya, terus berusaha dan berjuang. Jadikan semuanya pembelajaran.

Pengalaman adalah guru terbaik. Saya sepakat!

Jumat, 26 November 2010

Makan Aja, Lah!

Yang namanya anak kost, pola makan jadi nggak teratur dan kebersihannya pun tidak terjamin. Maklum, apa-apa beli. Biasanya, makan di warung-warung tenda gitu atau warteg. Yang namanya makan di pinggir jalan, banyak mobil motor lewat (bahkan truk), kebersihannya pun jadi diragukan.

Tadi gw baru aja beli lumpia basah di Gerbang Unpad. Lokasinya itu persis di pinggir jalan. Banyak mobil dan motor lalu lalang. Walaupun nggak pas banget pinggir jalan raya. Tetapi, tetep aja debunya pasti ikutan nemplok di makanan-makanan di Gerbang Unpad itu. Tadi karena teteh penjual lumpia basah sedang sibuk banget, dan gw lagi sendirian (yang berarti jadi nggak ada kerjaan ngobrol dengan teman-teman), gw memperhatikan cara teteh itu memasak. Ia tampak sibuk sekali karena banyaknya pembeli di sore itu.

Pertama-tama, dia masukkin minyak goreng ke penggorengan. Tak berapa lama, dia masukkin telur ke penggorengan tersebut. Eh, ada orang mau bayar. Ia berhenti sejenak, dan menerima uang dari pembeli tanpa menggunakan sarung tangan! Dan setelahnya, dia ngambil tauge dengan kedua tangannya dan kemudian dimasukkin ke penggorengan. Oooh, entah berapa banyak bakteri yang sudah ditransmigrasi dari tangan ke penggorengan. Hari itu sudah sore, logikanya dia sudah banyak menerima uang dari pembelinya. Itu berarti.............

Tak berapa lama, dia ngambil handphone dan berbicara di telepon sambil mengoseng-oseng makanan di penggorengan. Handphone juga salah satu barang yang banyak sekali kumannya, bukan? Handphone kan nggak mandi. (naon?) Hahahaha. Entah kenapa, dia kemudian mengelap-ngelap tangannya itu ke jeansnya (bagian pantat pula!). Gerakan selanjutnya, dengan tangan ia mengambil lagi sesuatu untuk lumpia basah (warnanya coklat-coklat gitu, nggak tau namanya apa). Iyuuuhhh........ Dan kemudian, jeng-jeng, sampailah lumpia basah itu di tangan gw..

Intinya, sangat sangat sangat tidak hygienis! Gw berusaha untuk nggak melihat proses pembuatan makanan yang akan segera gw makan itu. Tetapi tetap saja, hal-hal seperti itu tadi tak luput dari mata gw. Walaupun begitu, sewaktu sampai di kosan, tetep aja gw makan sampai habis. Mau gimana lagi, nggak mungkin ada makanan pinggir jalan yang bersih. Apalagi, dari pihak kokinya sendiri jorok. Ditambah tempat yang jorok pula... Jadilah....

Memang benar apa yang selalu didengungkan mama, makanan rumah emang paling bersih dan sehat. Apalagi mama gw itu orangnya super bersih, sayur bisa dicuci berkali-kali (gw curiga vitaminnya hilang karena dicuci berkali-kali). Nggak heran, semenjak jadi anak kosan, pencernaan gw kurang baik. Berbeda dengan di rumah, yang lancar-lancar saja. Seorang teman dari Malaysia lebih parah lagi. Dia mengaku, saat pertama-tama tinggal di Jatinangor dan makan makanan dari warung pinggir jalan, ia mengalami diare terus. Namun, sekarang sudah tidak karena mungkin sudah terbiasa.

Begitulah hidup anak kost yang nggak bisa masak.. Mamaaaaa i miss your healthy food!! :(

Kamis, 25 November 2010

Betapa Klisenya 'Turut Berduka Cita'

Hari itu, pada tanggal 15 November 2010, kulihat nama Yosie, adikku di layar handphone. Yosie menelepon sore-sore begini? Ada apa ya? Pikirku. Dengan curiga, kuangkat telepon itu. Terdengar isak tangis di seberang sana. Lalu, kabar sedih itu pun terdengar. Kakek yang sangat aku cintai meninggal hari itu. Tepatnya, siang itu. Aku menghela napas mendengar kabar itu. Namun, aku tidak menangis. Entah mengapa. Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon pun, tetap tidak tumpah airmataku. Aku bingung, lalu mencoba menangis. Tetap tak bisa. Bodoh, buat apa juga mencoba untuk menangis. Bicara tentang sedih atau tidak, jujur aku sedih. Sedih sekali. Tetapi, aku merasa, memang itulah jalan hidupnya. Mungkin itu jalan yang terbaik. Sampai malamnya, aku masih bisa tertawa-tawa dengan teman-temanku. Tak juga butir airmata turun dari kelopak mataku. Aneh. Apakah ini cara aku mengekspresikan kesedihan? Waktu dulu, saat nenek buyutku meninggal, aku seperti ini juga. Tidak menangis. Tapi, aku sedih.


Keesokan harinya, aku pulang ke rumah. Dari rumah, langsung menuju rumah duka Atma Jaya. Di rumah duka, keluarga sudah berkumpul. Tampak mata mereka sembab. Namun, mereka sedang mengobrol satu sama lain disertai senda gurau. Aku pun berkumpul dengan mereka. Sebelumnya, aku berganti kaos warna putih yang diseragamkan dengan keluarga. Aku kemudian berbaur dengan semuanya. Semua tampak biasa saja. Malah seperti reuni. Kemudian, tibalah saat aku melihat jenazah Akong (begitu panggilan untuk Kakek). Aku dan yang lainnya kemudian turun ke lantai bawah. Saat itulah aku tidak bisa menahan airmata yang melaju deras di pipi. Saat pertama aku menangis sejak mendengar kabar kematiannya. Melihat wajahnya yang begitu damai, begitu familiar, begitu hangat, membuatku sedih. Sedih mengapa ia begitu cepat meninggalkan kami semua. Sedih membayangkan hari-hari selanjutnya tanpa dirinya. Kadang-kadang, ia menginap di rumahku beberapa hari. Ia sosok yang tak banyak bicara dan tak mau merepotkan orang lain. Ia pintar memasak dan aku paling suka ayam arak buatannya. Ia tipe orang yang sangat menjaga kebersihan diri. Tidak seperti orang lanjut usia lainnya yang suka mengeluarkan bau tak sedap, tubuh Akong tak mengeluarkan bau dan biasanya berbau sabun. Aku jarang mengobrol dengannya, tetapi kehadirannya sangatlah berarti bagiku. Jujur, aku sangat kehilangan.

Prosesi pemakaman melalui sejumlah ritual-ritual yang harus dijalankan. Ya, adat chinese. Sangat banyak mitos-mitos yang harus dipatuhi dalam jangka waktu tersebut. Mitos-mitos yang bagiku sangat tak masuk akal. Jadi teringat, kata seorang teman yang kritis, "Memangnya ada mitos yang masuk akal?" Contohnya saja, air mata jangan sampai mengenai wajah orang yang meninggal karena bisa terbawa ke alam kematian juga. Kemudian, pembakaran orang-orangan yang terbuat dari kertas, lengkap dengan rumah, televisi, mobil, dan uang mainan yang semuanya terbuat dari kertas. Untuk apa? Mitosnya, supaya orang yang meninggal memiliki barang-barang yang diperlukan di alam baka. Aku memang belum pernah mencicipi kematian, tetapi itu benar-benar sangat mengundang tawa, bukan?

Tak heran, kematian seorang Tionghoa yang menggunakan adat chinese yang ketat rasanya lebih seperti acara bakar-bakaran. Dan itu merupakan pemborosan. Satu paket mainan kertas itu dapat mencapai 1 juta rupiah. Dibandingkan sepupu-sepupuku, akulah yang sering 'bandel' melanggar mitos-mitos itu. Aku sering bertanya balik ke mereka yang melarangku begini begitu, "Kamu tahu tidak artinya apa?" Dan mereka bilang tidak. Jadi, kenapa kamu bisa melarangku kalau kamu tidak tahu artinya? Entah ini hanya ketidakmengertianku atau memang kekritisanku yang haus jawaban yang logis. Tetapi setelah kupikir, Akong pastinya memang ingin dimakamkan dengan cara-cara seperti itu. Cara yang ia yakini. Yang benar dan tidak benar menurut mitos itu. Jadi, memang harus dijalankan semua ritual tersebut. Papaku pun bilang: "Kalau ritual ini sudah berjalan sampai 2500 tahun, pasti ada penyebabnya, kan?" Papa adalah orang yang sangat logis dan selalu menggunakan sisi rasionalnya. Ia tak pernah percaya mitos. Namun, untuk yang satu ini, ia menjalaninya, terlepas dari ia percaya atau tidak. Sesuatu yang harus dijalankan, yang ia katakan adalah sebuah adat atau tradisi. "Kemanapun kamu pergi, jangan pernah kamu lupa akarmu," begitu ucapannya. Dan ini selalu aku ingat. Akar. Jatidiri. Asal. Jangan sampai dilupakan.



Akong meninggal karena sakit kanker hati berjenis Cholangiocarcinoma. Setelah browsing, katanya memang kanker jenis ini perkembangannya lambat dan baru ketahuan setelah muncul gejala sakit kuning. Waktu itu, tubuh Akong tiba-tiba berwarna kuning. Keluarga akhirnya membawanya ke rumah sakit. Akong kemudian menjalani beberapa tes, dan akhirnya ketahuan bahwa ia menderita penyakit ini. Menurut diagnosa, penyakitnya sudah parah, sudah mencapai usus halus. Dokter pun mengatakan harapannya kecil. Akong yang tadinya terlihat segar bugar, kesehatannya semakin menurun dari hari ke hari. Perutnya semakin besar, dan tubuhnya semakin kuning. Saat menjenguknya di rumah sakit, aku sangat terkejut dengan penampilannya yang sangat berbeda itu. Ia juga tampak sangat lemas. Tidak seperti biasanya. Namun, ia tak pernah sedikitpun mengeluh. Ia tak pernah bilang ia kesakitan atau apa pun. Menurut papa, hanya sekali ia mengeluh sakit, yaitu sewaktu perawat menyuntiknya dengan sedikit kasar. Salam 40 hari, hanya sekali itu saja. Sungguh hebat.


Tampaknya Akong sudah feeling ia akan segera meninggal. Menjelang hari kematiannya, ia bahkan sudah memberi wasiat kepada anak-anaknya. Ia sudah berpesan agar dikubur bersama istri tercintanya (saat ini Ama [sebutan untuk nenek] masih hidup). Ia juga memberi nasihat kepada kami semua supaya jangan terlalu sedih saat ditinggalkan olehnya. Akong tidak suka anak yang cengeng. Dan masih banyak lagi wasiat-wasiat yang ditinggalkannya.


Beberapa sahabat tampak peduli saat tahu Akong meninggal. Mereka mengucapkan: "Turut berdukacita ya, Han." Sebenarnya aku bingung akan makna dari ucapan tersebut. Maksudnya apa? Turut bersedih, begitu? Memang mereka mengenal Akongku? Memang benar mereka turut bersedih? Jadi teringat perkataan seorang public speaker hebat, bernama Handaka Vijjananda. Yang aku tangkap dari ucapan dia adalah : "Berduka cita itu bukan hanya sekadar omongan, tetapi kemauan dan keberanian untuk menanggung penderitaan." Well, aku masih kurang mengerti sebenarnya. Memang tak ada salahnya mereka bicara seperti itu untuk menunjukkan kepeduliannya padaku. Mungkin itu sudah seamacam 'budaya'. Ya, aku hanya merasa... janggal. Aku lebih senang kalau temanku bilang: "Yang sabar ya, Han." Bagiku, ini lebih masuk akal.

Aku juga mau berterimakasih pada teman-teman dari Keluarga Mahasiswa Buddhis Dharmavira (KMBD) yang dengan sangat pedulinya telah mengadakan kebaktian pelimpahan jasa untuk Akong tercinta. Selama ini, aku selalu tidak pernah ikut bila ada kebaktian pelimpahan jasa. Aku berpikir, apa sih itu? Memangnya berguna, ya? Terlepas dari berguna atau tidak, itu adalah sebuah wujud rasa 'turut berduka cita' yang patut dihargai. Aku jadi merasa bersalah selama ini tak pernah peduli akan kematian rekan teman-teman KMBD dengan menyepelekan kebaktian pelimpahan jasa itu. Many many thanks. Bagiku sangat berarti.

Selamat jalan Akong... I will always remember you. ^___^

Selasa, 23 November 2010

Im Back!

Bah, uda lama banget yah gw nggak nyap nyap di mari... Hohohoho.....
Ini semua karena kesibukan kuliah dan ospek! Huwaaaa.... Yaaa, begitulah, gw diospek lagi! Ospek Jurusan lebih tepatnya. Jadi yaaa, blog ini terbengkalai deh... Sepertinya sih emang alasan gw doang, soalnya emang nggak mood nulis sih....

Heeemmm, mau ngomong apa yahh??? Bingung... Sepertinya gw terkena sindrom malas-menulis-blog-karena-sudah-kelamaan-nggak-nulis-blog. Hehehee. Memangnya ada?

Selasa, 17 Agustus 2010

Getting to Know Apple Girl

Helloo world!

Belakangan ini kalau nyalain tv, sering banget ngeliat Sinta-Jojo. Wah gilaaaa, mereka udah famous banget sekarang. Ada yang nggak tau Sinta-Jojo? Yang nggak tau kebangetan lah yah... Itu tuh, duo lipsync lagu Keong Racun yang namanya tiba-tiba melejit karena video mereka di youtube. Gw sendiri sampai aneh kok ya bisa yaaah yang begituan aja laku dikontrak sana sini? Kok bisa orang-orang jadi pada ngefans ama mereka? Memang selera orang Indonesia kadang mengundang tanda tanya. Hemmm...

Zaman sekarang emang kayaknya gampang banget terkenal. Mulai dari yang nggak jelas kayak Sinta-Jojo dan Moymoy Palaboy sampai Justin Bieber. Semuanya menggunakan akses dunia maya untuk menunjukkan kemampuan mereka. Dan... kemarin-kemarin gw kembali melihat video di youtube yang nggak kalah bikin heboh. Tapi, ini hebohnya di Korea, bukan di Indonesia. Siapa dia?? Jeng.. jeng... Lihat sendiri yah videonya..







Gw sendiri ampe bengong liatnya. Bisa-bisanya dia berpikiran kreatif kayak gitu! Damn cool! She's very talented in music, I think! Sekarang, Kim Yeo Hee a.k.a "Apple Girl" udah terkenal sebagai penyanyi di Korea. Album perdananya dirilis di akhir Mei 2010. Padahal, video yang di youtube itu baru diupload pada bulai Maret. Wiiihh... Gw sendiri suka banget sama suara dia. Gw rasa dia perfect banget. Cantik, pintar, dan berbakat.

Nah, menurut gw, yang kayak gini nih yang pantes diangkat media dan diekspos sana sini. Karena memang dia punya kualitas. Bukan sekedar cari sensasi doang. So, which one do you choose, Sinta-Jojo or Apple Girl? Hahaha :)

Slow Motion - Karina Pasian



[Verse 1:]
I Know That You've Been Calling Me,
And I'm happy that we met.
Don't think that I'm not interested.
I'm just playing hard to get

[Bridge:]
So much about this crazy game they call love
That I'm trying to understand,
So could you be my best friend,
Before you call yourself my man

[Hook:]
Why can't I love you in slow motion,
Take my time,
Take away the pressure on my mind
Really get to know you
But rewind
Wanna love you in slow motion
Why can't I?

[Verse 2:]
You seem to know just what you want
And I like your confidence
Some things a girl should never rush
Cause If you do you hurt yourself

[Bridge:]
So much about this crazy game they call love
I'm still trying to understand,
So could you be my best friend,
Before you call yourself my man

[Hook:]
Why can't I love you in slow motion,
Take my time,
Take away the pressure on my mind
Really get to know you
But rewind
Wanna love you in slow motion
Why can't I

[Breakdown:]
I'm too young for tears in the night
And it's too soon for this to be right
Don't wanna mess with your pride
The questions not when but why

[Hook:]
Why can't I love you in slow motion,
Take my time,
Take away the pressure on my mind
Really get to know you
But rewind
I Wanna love you in slow motion
Why can't... I