RSS

Kamis, 25 November 2010

Betapa Klisenya 'Turut Berduka Cita'

Hari itu, pada tanggal 15 November 2010, kulihat nama Yosie, adikku di layar handphone. Yosie menelepon sore-sore begini? Ada apa ya? Pikirku. Dengan curiga, kuangkat telepon itu. Terdengar isak tangis di seberang sana. Lalu, kabar sedih itu pun terdengar. Kakek yang sangat aku cintai meninggal hari itu. Tepatnya, siang itu. Aku menghela napas mendengar kabar itu. Namun, aku tidak menangis. Entah mengapa. Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon pun, tetap tidak tumpah airmataku. Aku bingung, lalu mencoba menangis. Tetap tak bisa. Bodoh, buat apa juga mencoba untuk menangis. Bicara tentang sedih atau tidak, jujur aku sedih. Sedih sekali. Tetapi, aku merasa, memang itulah jalan hidupnya. Mungkin itu jalan yang terbaik. Sampai malamnya, aku masih bisa tertawa-tawa dengan teman-temanku. Tak juga butir airmata turun dari kelopak mataku. Aneh. Apakah ini cara aku mengekspresikan kesedihan? Waktu dulu, saat nenek buyutku meninggal, aku seperti ini juga. Tidak menangis. Tapi, aku sedih.


Keesokan harinya, aku pulang ke rumah. Dari rumah, langsung menuju rumah duka Atma Jaya. Di rumah duka, keluarga sudah berkumpul. Tampak mata mereka sembab. Namun, mereka sedang mengobrol satu sama lain disertai senda gurau. Aku pun berkumpul dengan mereka. Sebelumnya, aku berganti kaos warna putih yang diseragamkan dengan keluarga. Aku kemudian berbaur dengan semuanya. Semua tampak biasa saja. Malah seperti reuni. Kemudian, tibalah saat aku melihat jenazah Akong (begitu panggilan untuk Kakek). Aku dan yang lainnya kemudian turun ke lantai bawah. Saat itulah aku tidak bisa menahan airmata yang melaju deras di pipi. Saat pertama aku menangis sejak mendengar kabar kematiannya. Melihat wajahnya yang begitu damai, begitu familiar, begitu hangat, membuatku sedih. Sedih mengapa ia begitu cepat meninggalkan kami semua. Sedih membayangkan hari-hari selanjutnya tanpa dirinya. Kadang-kadang, ia menginap di rumahku beberapa hari. Ia sosok yang tak banyak bicara dan tak mau merepotkan orang lain. Ia pintar memasak dan aku paling suka ayam arak buatannya. Ia tipe orang yang sangat menjaga kebersihan diri. Tidak seperti orang lanjut usia lainnya yang suka mengeluarkan bau tak sedap, tubuh Akong tak mengeluarkan bau dan biasanya berbau sabun. Aku jarang mengobrol dengannya, tetapi kehadirannya sangatlah berarti bagiku. Jujur, aku sangat kehilangan.

Prosesi pemakaman melalui sejumlah ritual-ritual yang harus dijalankan. Ya, adat chinese. Sangat banyak mitos-mitos yang harus dipatuhi dalam jangka waktu tersebut. Mitos-mitos yang bagiku sangat tak masuk akal. Jadi teringat, kata seorang teman yang kritis, "Memangnya ada mitos yang masuk akal?" Contohnya saja, air mata jangan sampai mengenai wajah orang yang meninggal karena bisa terbawa ke alam kematian juga. Kemudian, pembakaran orang-orangan yang terbuat dari kertas, lengkap dengan rumah, televisi, mobil, dan uang mainan yang semuanya terbuat dari kertas. Untuk apa? Mitosnya, supaya orang yang meninggal memiliki barang-barang yang diperlukan di alam baka. Aku memang belum pernah mencicipi kematian, tetapi itu benar-benar sangat mengundang tawa, bukan?

Tak heran, kematian seorang Tionghoa yang menggunakan adat chinese yang ketat rasanya lebih seperti acara bakar-bakaran. Dan itu merupakan pemborosan. Satu paket mainan kertas itu dapat mencapai 1 juta rupiah. Dibandingkan sepupu-sepupuku, akulah yang sering 'bandel' melanggar mitos-mitos itu. Aku sering bertanya balik ke mereka yang melarangku begini begitu, "Kamu tahu tidak artinya apa?" Dan mereka bilang tidak. Jadi, kenapa kamu bisa melarangku kalau kamu tidak tahu artinya? Entah ini hanya ketidakmengertianku atau memang kekritisanku yang haus jawaban yang logis. Tetapi setelah kupikir, Akong pastinya memang ingin dimakamkan dengan cara-cara seperti itu. Cara yang ia yakini. Yang benar dan tidak benar menurut mitos itu. Jadi, memang harus dijalankan semua ritual tersebut. Papaku pun bilang: "Kalau ritual ini sudah berjalan sampai 2500 tahun, pasti ada penyebabnya, kan?" Papa adalah orang yang sangat logis dan selalu menggunakan sisi rasionalnya. Ia tak pernah percaya mitos. Namun, untuk yang satu ini, ia menjalaninya, terlepas dari ia percaya atau tidak. Sesuatu yang harus dijalankan, yang ia katakan adalah sebuah adat atau tradisi. "Kemanapun kamu pergi, jangan pernah kamu lupa akarmu," begitu ucapannya. Dan ini selalu aku ingat. Akar. Jatidiri. Asal. Jangan sampai dilupakan.



Akong meninggal karena sakit kanker hati berjenis Cholangiocarcinoma. Setelah browsing, katanya memang kanker jenis ini perkembangannya lambat dan baru ketahuan setelah muncul gejala sakit kuning. Waktu itu, tubuh Akong tiba-tiba berwarna kuning. Keluarga akhirnya membawanya ke rumah sakit. Akong kemudian menjalani beberapa tes, dan akhirnya ketahuan bahwa ia menderita penyakit ini. Menurut diagnosa, penyakitnya sudah parah, sudah mencapai usus halus. Dokter pun mengatakan harapannya kecil. Akong yang tadinya terlihat segar bugar, kesehatannya semakin menurun dari hari ke hari. Perutnya semakin besar, dan tubuhnya semakin kuning. Saat menjenguknya di rumah sakit, aku sangat terkejut dengan penampilannya yang sangat berbeda itu. Ia juga tampak sangat lemas. Tidak seperti biasanya. Namun, ia tak pernah sedikitpun mengeluh. Ia tak pernah bilang ia kesakitan atau apa pun. Menurut papa, hanya sekali ia mengeluh sakit, yaitu sewaktu perawat menyuntiknya dengan sedikit kasar. Salam 40 hari, hanya sekali itu saja. Sungguh hebat.


Tampaknya Akong sudah feeling ia akan segera meninggal. Menjelang hari kematiannya, ia bahkan sudah memberi wasiat kepada anak-anaknya. Ia sudah berpesan agar dikubur bersama istri tercintanya (saat ini Ama [sebutan untuk nenek] masih hidup). Ia juga memberi nasihat kepada kami semua supaya jangan terlalu sedih saat ditinggalkan olehnya. Akong tidak suka anak yang cengeng. Dan masih banyak lagi wasiat-wasiat yang ditinggalkannya.


Beberapa sahabat tampak peduli saat tahu Akong meninggal. Mereka mengucapkan: "Turut berdukacita ya, Han." Sebenarnya aku bingung akan makna dari ucapan tersebut. Maksudnya apa? Turut bersedih, begitu? Memang mereka mengenal Akongku? Memang benar mereka turut bersedih? Jadi teringat perkataan seorang public speaker hebat, bernama Handaka Vijjananda. Yang aku tangkap dari ucapan dia adalah : "Berduka cita itu bukan hanya sekadar omongan, tetapi kemauan dan keberanian untuk menanggung penderitaan." Well, aku masih kurang mengerti sebenarnya. Memang tak ada salahnya mereka bicara seperti itu untuk menunjukkan kepeduliannya padaku. Mungkin itu sudah seamacam 'budaya'. Ya, aku hanya merasa... janggal. Aku lebih senang kalau temanku bilang: "Yang sabar ya, Han." Bagiku, ini lebih masuk akal.

Aku juga mau berterimakasih pada teman-teman dari Keluarga Mahasiswa Buddhis Dharmavira (KMBD) yang dengan sangat pedulinya telah mengadakan kebaktian pelimpahan jasa untuk Akong tercinta. Selama ini, aku selalu tidak pernah ikut bila ada kebaktian pelimpahan jasa. Aku berpikir, apa sih itu? Memangnya berguna, ya? Terlepas dari berguna atau tidak, itu adalah sebuah wujud rasa 'turut berduka cita' yang patut dihargai. Aku jadi merasa bersalah selama ini tak pernah peduli akan kematian rekan teman-teman KMBD dengan menyepelekan kebaktian pelimpahan jasa itu. Many many thanks. Bagiku sangat berarti.

Selamat jalan Akong... I will always remember you. ^___^

0 komentar:

Posting Komentar