RSS

Senin, 29 November 2010

Bukan Sekadar Tanya Jawab!

Sebagai mahasiswi jurnalistik, yang namanya wawancara rasanya sudah mulai akrab dengan kehidupan saya. Setiap kegiatan pencarian data setidaknya memerlukan proses wawancara. Apalagi, ada mata kuliah wawancara. Tentunya, semakin membuat saya akrab dengan wawancara. Sebelum saya masuk jurusan jurnalistik, saya pikir wawancara itu mudah saja. Hanya sekadar tanya jawab. Yang penting, mengumpulkan nyali di awal untuk membuka percakapan. That's all. Namun, setelah saya masuk jurusan jurnalistik, wawancara menjadi tampak menantang dan tidak bisa ditebak. Saya belajar bahwa wawancara itu bukan hanya tanya jawab semata. Wawancara yang baik sangat tergantung pada pewawancaranya. Bila pewawancaranya 'kaya', wawancara akan menjadi sangat bermutu. Namun, bila pewawancaranya 'miskin', wawancara tersebut menjadi biasa saja. Pewawancara harus mempersiapkan materi sebaik-baiknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (lagi-lagi masalah deadline yang keramat itu). Karena itu, rasanya suka membaca adalah hobi wajib bagi setiap calon jurnalis. Dan saya, harus berusaha lebih keras untuk dapat mempunyai hobi seperti itu. Hehe.

Sampai saat ini, saya telah melakukan proses wawancara beberapa kali. Tidak terlalu banyak, sih. Tetapi, lumayan untuk menambah pengalaman. Mulai dari pedagang Gede Bage, alumni Fikom, manajer Speedy, orang lansia (di mana saya kesulitan karena pendengarannya yang buruk), mahasiswa, supir angkot, dan ilmuwan. Kira-kira itu yang bisa saya sebutkan. Begitulah, seorang jurnalis harus bisa berkomunikasi dengan rakyat kalangan bawah hingga kalangan atas. Wawancara yang saya lakukan lancar-lancar saja (tidak mengalami hambatan yang berarti) sampai saya kemudian mewawancarai seorang ilmuwan. Wawancara dengan ilmuwan ini saya lakukan untuk tugas kuliah saya. Saya mengambil topik perempuan dan kemudian memutuskan untuk mewawancarai seorang dosen yang ahli di bidang psikologi perempuan.

Seorang ilmuwan tentunya pintar. Apalagi, seorang dosen, pastinya ia sangat tahu kelemahan mahasiswa. Dan saya melakukan kesalahan yang fatal dengan kurang mempersiapkan diri saya! Well, saya memang sudah mempersiapkan diri saya, kok! Saya sudah browsing mengenai berbagai masalah perempuan, mondar-mandir ke situs Jurnal Perempuan dan Komnas Perempuan, dan membeli Kompas Jumat (karena pada hari Jumat ada rubrik Swara yang mengangkat isu mengenai perempuan dan anak). Setidaknya itulah yang telah saya lakukan dengan batasan waktu yang ada. Memang, konsentrasi saya sedikit terpecah saat itu karena ada masalah lain. Lalu, dengan pedenya saya ke rumah narasumber saya di Bandung.

Saya tidak menyangka wawancaranya berjalan dengan sangat kacau. Narasumber selalu balik bertanya ketika saya bertanya sehingga pertanyaan saya tidak terjawab. Ia bahkan selalu menanyai saya apakah telah membaca referensi-referensi yang ia punya. Salah satunya adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang tentunya sudah tak asing lagi. Wah, jujur saya belum baca! Dan saya sangat malu. Sebagai pelajar tentu sudah sangat familiar dengan buku itu. Namun, apakah semua pelajar yang mengetahui buku itu telah membacanya? Saya rasa tidak. Narasumber saya menjadi semakin 'kelewatan' setelah mengetahui saya belum membaca buku yang menurut dia adalah buku wajib para pelajar di Belanda. Sepertinya ia sudah keburu negative thinking dengan saya yang tampak sangat bodoh di depannya. Dan begitulah, wawancara saya amburadul sampai akhir. Benar-benar wawancara terburuk hingga saat ini.

Saya merasa seperti ujian. Bahan yang saya pelajari tidak keluar di soal! Sementara bahan yang tidak saya pelajari malah keluar! Ya, begitulah. Saya tahu saya salah karena belum membaca buku sakral (untuk topik perempuan) itu. Terus terang, saya sudah mencoba mencari buku itu di toko buku. Namun, yang saya dapatkan adalah buku-buku biografi Kartini. Apa boleh buat. Tapi sungguh, saya merasakan narasumber saya sepertinya sentimen dengan yang namanya wawancara. Tampaknya ia pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan terkait wawancara. Mungkin hanya perasaan saya saja, tetapi saya merasa ia seperti mencari-cari kesalahan saya. bahkan, dia mengomentari pakaian saya(yang sopan), yang rasanya tak perlu, bukan?

Seusai wawancara itu, (yang sebenarnya tak dapat disebut sebagai wawancara) saya merasa sangat down. Dowwwwwwnnnn sekali! Saya merasa bodoh dan tolol. Padahal, keesokan harinya saya sudah ada janji lagi mewawancarai seorang ilmuwan lain dengan topik yang sama. Saya menjadi pikir-pikir, apakah besok saya harus wawancara? Bagaimana bila saya diperlakukan begitu lagi oleh narasumber saya? Apalagi, narasumber yang satu ini rumahnya di Jakarta (yang berarti saya harus berangkat dari Jatinangor ke Jakarta). Saya takut pengorbanan saya sia-sia. Setelah curhat dengan teman saya, saya akhirnya memutuskan untuk wawancara narasumber yang di Jakarta itu. Tentunya, saya sudah lebih matang mempersiapkan diri saya. Bila sebelumnya saya belum membaca keseluruhan undang-undang menyangkut perempuan dan anak, seperti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Pornografi, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No 1 tahun 2010, malam itu saya membaca semua undang-undang tersebut. Benar-benar saya kapok dimarahin narasumber!

Keesokan harinya saya kemudian berangkat ke Jakarta dari Jatinangor mencari rumah narasumber. Untung ada google map yang memudahkan saya! Setelah saya browsing di google map, ternyata rumah narasumber berdekatan dengan SMA Panghudi Luhur I. Beruntung juga saya mempunyai teman yang dulunya bersekolah di SMA PL I itu sehingga saya bisa menanyakan jalan ke sana. Dengan bermodalkan arahan dan petunjuk dari teman saya, seorang diri saya menjelajah ke rumah narasumber. Saya akui sedikit menegangkan. Yang namanya bertanya itu wajib bila kita sudah bingung. Ingat, malu bertanya sesat di jalan! Dan untunglah, saya sampai di rumah narasumber dengan selamat. Begitu sampai di rumahnya, saya kembali deg-degan. Saya sudah pasrah saja bila saya diperlakukan seperti sehari sebelumnya. Namun, ternyata narasumber saya yang satu ini sangat ramah dan welcome. Saya bahkan dikasih cemilan dan teh(yang sangat enak itu... yummy!!). Selain itu, saya juga diberi bukunya. Waaww, benar-benar baik! Wawancara pun berjalan dengan lancar seperti mengobrol saja. Walau saya akui, saya masih banyak kekurangan sebagai pewawancara yang baik.

Pengalaman tersebut memberi saya dua pelajaran. Pertama, persiapan wawancara harus dilakukan semaksimal mungkin. Jangan pernah males-malesan mempersiapkan wawancara. Semakin kaya pewawancara akan informasi, akan semakin bagus juga hasil wawancaranya. Kedua, jangan pernah menyerah. Walaupun mengalami kegagalan sebelumnya, terus berusaha dan berjuang. Jadikan semuanya pembelajaran.

Pengalaman adalah guru terbaik. Saya sepakat!

Jumat, 26 November 2010

Makan Aja, Lah!

Yang namanya anak kost, pola makan jadi nggak teratur dan kebersihannya pun tidak terjamin. Maklum, apa-apa beli. Biasanya, makan di warung-warung tenda gitu atau warteg. Yang namanya makan di pinggir jalan, banyak mobil motor lewat (bahkan truk), kebersihannya pun jadi diragukan.

Tadi gw baru aja beli lumpia basah di Gerbang Unpad. Lokasinya itu persis di pinggir jalan. Banyak mobil dan motor lalu lalang. Walaupun nggak pas banget pinggir jalan raya. Tetapi, tetep aja debunya pasti ikutan nemplok di makanan-makanan di Gerbang Unpad itu. Tadi karena teteh penjual lumpia basah sedang sibuk banget, dan gw lagi sendirian (yang berarti jadi nggak ada kerjaan ngobrol dengan teman-teman), gw memperhatikan cara teteh itu memasak. Ia tampak sibuk sekali karena banyaknya pembeli di sore itu.

Pertama-tama, dia masukkin minyak goreng ke penggorengan. Tak berapa lama, dia masukkin telur ke penggorengan tersebut. Eh, ada orang mau bayar. Ia berhenti sejenak, dan menerima uang dari pembeli tanpa menggunakan sarung tangan! Dan setelahnya, dia ngambil tauge dengan kedua tangannya dan kemudian dimasukkin ke penggorengan. Oooh, entah berapa banyak bakteri yang sudah ditransmigrasi dari tangan ke penggorengan. Hari itu sudah sore, logikanya dia sudah banyak menerima uang dari pembelinya. Itu berarti.............

Tak berapa lama, dia ngambil handphone dan berbicara di telepon sambil mengoseng-oseng makanan di penggorengan. Handphone juga salah satu barang yang banyak sekali kumannya, bukan? Handphone kan nggak mandi. (naon?) Hahahaha. Entah kenapa, dia kemudian mengelap-ngelap tangannya itu ke jeansnya (bagian pantat pula!). Gerakan selanjutnya, dengan tangan ia mengambil lagi sesuatu untuk lumpia basah (warnanya coklat-coklat gitu, nggak tau namanya apa). Iyuuuhhh........ Dan kemudian, jeng-jeng, sampailah lumpia basah itu di tangan gw..

Intinya, sangat sangat sangat tidak hygienis! Gw berusaha untuk nggak melihat proses pembuatan makanan yang akan segera gw makan itu. Tetapi tetap saja, hal-hal seperti itu tadi tak luput dari mata gw. Walaupun begitu, sewaktu sampai di kosan, tetep aja gw makan sampai habis. Mau gimana lagi, nggak mungkin ada makanan pinggir jalan yang bersih. Apalagi, dari pihak kokinya sendiri jorok. Ditambah tempat yang jorok pula... Jadilah....

Memang benar apa yang selalu didengungkan mama, makanan rumah emang paling bersih dan sehat. Apalagi mama gw itu orangnya super bersih, sayur bisa dicuci berkali-kali (gw curiga vitaminnya hilang karena dicuci berkali-kali). Nggak heran, semenjak jadi anak kosan, pencernaan gw kurang baik. Berbeda dengan di rumah, yang lancar-lancar saja. Seorang teman dari Malaysia lebih parah lagi. Dia mengaku, saat pertama-tama tinggal di Jatinangor dan makan makanan dari warung pinggir jalan, ia mengalami diare terus. Namun, sekarang sudah tidak karena mungkin sudah terbiasa.

Begitulah hidup anak kost yang nggak bisa masak.. Mamaaaaa i miss your healthy food!! :(

Kamis, 25 November 2010

Betapa Klisenya 'Turut Berduka Cita'

Hari itu, pada tanggal 15 November 2010, kulihat nama Yosie, adikku di layar handphone. Yosie menelepon sore-sore begini? Ada apa ya? Pikirku. Dengan curiga, kuangkat telepon itu. Terdengar isak tangis di seberang sana. Lalu, kabar sedih itu pun terdengar. Kakek yang sangat aku cintai meninggal hari itu. Tepatnya, siang itu. Aku menghela napas mendengar kabar itu. Namun, aku tidak menangis. Entah mengapa. Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon pun, tetap tidak tumpah airmataku. Aku bingung, lalu mencoba menangis. Tetap tak bisa. Bodoh, buat apa juga mencoba untuk menangis. Bicara tentang sedih atau tidak, jujur aku sedih. Sedih sekali. Tetapi, aku merasa, memang itulah jalan hidupnya. Mungkin itu jalan yang terbaik. Sampai malamnya, aku masih bisa tertawa-tawa dengan teman-temanku. Tak juga butir airmata turun dari kelopak mataku. Aneh. Apakah ini cara aku mengekspresikan kesedihan? Waktu dulu, saat nenek buyutku meninggal, aku seperti ini juga. Tidak menangis. Tapi, aku sedih.


Keesokan harinya, aku pulang ke rumah. Dari rumah, langsung menuju rumah duka Atma Jaya. Di rumah duka, keluarga sudah berkumpul. Tampak mata mereka sembab. Namun, mereka sedang mengobrol satu sama lain disertai senda gurau. Aku pun berkumpul dengan mereka. Sebelumnya, aku berganti kaos warna putih yang diseragamkan dengan keluarga. Aku kemudian berbaur dengan semuanya. Semua tampak biasa saja. Malah seperti reuni. Kemudian, tibalah saat aku melihat jenazah Akong (begitu panggilan untuk Kakek). Aku dan yang lainnya kemudian turun ke lantai bawah. Saat itulah aku tidak bisa menahan airmata yang melaju deras di pipi. Saat pertama aku menangis sejak mendengar kabar kematiannya. Melihat wajahnya yang begitu damai, begitu familiar, begitu hangat, membuatku sedih. Sedih mengapa ia begitu cepat meninggalkan kami semua. Sedih membayangkan hari-hari selanjutnya tanpa dirinya. Kadang-kadang, ia menginap di rumahku beberapa hari. Ia sosok yang tak banyak bicara dan tak mau merepotkan orang lain. Ia pintar memasak dan aku paling suka ayam arak buatannya. Ia tipe orang yang sangat menjaga kebersihan diri. Tidak seperti orang lanjut usia lainnya yang suka mengeluarkan bau tak sedap, tubuh Akong tak mengeluarkan bau dan biasanya berbau sabun. Aku jarang mengobrol dengannya, tetapi kehadirannya sangatlah berarti bagiku. Jujur, aku sangat kehilangan.

Prosesi pemakaman melalui sejumlah ritual-ritual yang harus dijalankan. Ya, adat chinese. Sangat banyak mitos-mitos yang harus dipatuhi dalam jangka waktu tersebut. Mitos-mitos yang bagiku sangat tak masuk akal. Jadi teringat, kata seorang teman yang kritis, "Memangnya ada mitos yang masuk akal?" Contohnya saja, air mata jangan sampai mengenai wajah orang yang meninggal karena bisa terbawa ke alam kematian juga. Kemudian, pembakaran orang-orangan yang terbuat dari kertas, lengkap dengan rumah, televisi, mobil, dan uang mainan yang semuanya terbuat dari kertas. Untuk apa? Mitosnya, supaya orang yang meninggal memiliki barang-barang yang diperlukan di alam baka. Aku memang belum pernah mencicipi kematian, tetapi itu benar-benar sangat mengundang tawa, bukan?

Tak heran, kematian seorang Tionghoa yang menggunakan adat chinese yang ketat rasanya lebih seperti acara bakar-bakaran. Dan itu merupakan pemborosan. Satu paket mainan kertas itu dapat mencapai 1 juta rupiah. Dibandingkan sepupu-sepupuku, akulah yang sering 'bandel' melanggar mitos-mitos itu. Aku sering bertanya balik ke mereka yang melarangku begini begitu, "Kamu tahu tidak artinya apa?" Dan mereka bilang tidak. Jadi, kenapa kamu bisa melarangku kalau kamu tidak tahu artinya? Entah ini hanya ketidakmengertianku atau memang kekritisanku yang haus jawaban yang logis. Tetapi setelah kupikir, Akong pastinya memang ingin dimakamkan dengan cara-cara seperti itu. Cara yang ia yakini. Yang benar dan tidak benar menurut mitos itu. Jadi, memang harus dijalankan semua ritual tersebut. Papaku pun bilang: "Kalau ritual ini sudah berjalan sampai 2500 tahun, pasti ada penyebabnya, kan?" Papa adalah orang yang sangat logis dan selalu menggunakan sisi rasionalnya. Ia tak pernah percaya mitos. Namun, untuk yang satu ini, ia menjalaninya, terlepas dari ia percaya atau tidak. Sesuatu yang harus dijalankan, yang ia katakan adalah sebuah adat atau tradisi. "Kemanapun kamu pergi, jangan pernah kamu lupa akarmu," begitu ucapannya. Dan ini selalu aku ingat. Akar. Jatidiri. Asal. Jangan sampai dilupakan.



Akong meninggal karena sakit kanker hati berjenis Cholangiocarcinoma. Setelah browsing, katanya memang kanker jenis ini perkembangannya lambat dan baru ketahuan setelah muncul gejala sakit kuning. Waktu itu, tubuh Akong tiba-tiba berwarna kuning. Keluarga akhirnya membawanya ke rumah sakit. Akong kemudian menjalani beberapa tes, dan akhirnya ketahuan bahwa ia menderita penyakit ini. Menurut diagnosa, penyakitnya sudah parah, sudah mencapai usus halus. Dokter pun mengatakan harapannya kecil. Akong yang tadinya terlihat segar bugar, kesehatannya semakin menurun dari hari ke hari. Perutnya semakin besar, dan tubuhnya semakin kuning. Saat menjenguknya di rumah sakit, aku sangat terkejut dengan penampilannya yang sangat berbeda itu. Ia juga tampak sangat lemas. Tidak seperti biasanya. Namun, ia tak pernah sedikitpun mengeluh. Ia tak pernah bilang ia kesakitan atau apa pun. Menurut papa, hanya sekali ia mengeluh sakit, yaitu sewaktu perawat menyuntiknya dengan sedikit kasar. Salam 40 hari, hanya sekali itu saja. Sungguh hebat.


Tampaknya Akong sudah feeling ia akan segera meninggal. Menjelang hari kematiannya, ia bahkan sudah memberi wasiat kepada anak-anaknya. Ia sudah berpesan agar dikubur bersama istri tercintanya (saat ini Ama [sebutan untuk nenek] masih hidup). Ia juga memberi nasihat kepada kami semua supaya jangan terlalu sedih saat ditinggalkan olehnya. Akong tidak suka anak yang cengeng. Dan masih banyak lagi wasiat-wasiat yang ditinggalkannya.


Beberapa sahabat tampak peduli saat tahu Akong meninggal. Mereka mengucapkan: "Turut berdukacita ya, Han." Sebenarnya aku bingung akan makna dari ucapan tersebut. Maksudnya apa? Turut bersedih, begitu? Memang mereka mengenal Akongku? Memang benar mereka turut bersedih? Jadi teringat perkataan seorang public speaker hebat, bernama Handaka Vijjananda. Yang aku tangkap dari ucapan dia adalah : "Berduka cita itu bukan hanya sekadar omongan, tetapi kemauan dan keberanian untuk menanggung penderitaan." Well, aku masih kurang mengerti sebenarnya. Memang tak ada salahnya mereka bicara seperti itu untuk menunjukkan kepeduliannya padaku. Mungkin itu sudah seamacam 'budaya'. Ya, aku hanya merasa... janggal. Aku lebih senang kalau temanku bilang: "Yang sabar ya, Han." Bagiku, ini lebih masuk akal.

Aku juga mau berterimakasih pada teman-teman dari Keluarga Mahasiswa Buddhis Dharmavira (KMBD) yang dengan sangat pedulinya telah mengadakan kebaktian pelimpahan jasa untuk Akong tercinta. Selama ini, aku selalu tidak pernah ikut bila ada kebaktian pelimpahan jasa. Aku berpikir, apa sih itu? Memangnya berguna, ya? Terlepas dari berguna atau tidak, itu adalah sebuah wujud rasa 'turut berduka cita' yang patut dihargai. Aku jadi merasa bersalah selama ini tak pernah peduli akan kematian rekan teman-teman KMBD dengan menyepelekan kebaktian pelimpahan jasa itu. Many many thanks. Bagiku sangat berarti.

Selamat jalan Akong... I will always remember you. ^___^

Selasa, 23 November 2010

Im Back!

Bah, uda lama banget yah gw nggak nyap nyap di mari... Hohohoho.....
Ini semua karena kesibukan kuliah dan ospek! Huwaaaa.... Yaaa, begitulah, gw diospek lagi! Ospek Jurusan lebih tepatnya. Jadi yaaa, blog ini terbengkalai deh... Sepertinya sih emang alasan gw doang, soalnya emang nggak mood nulis sih....

Heeemmm, mau ngomong apa yahh??? Bingung... Sepertinya gw terkena sindrom malas-menulis-blog-karena-sudah-kelamaan-nggak-nulis-blog. Hehehee. Memangnya ada?