RSS

Rabu, 21 Desember 2011

Puisi Tentang Seseorang

Masih ingat ini?


Link

Ku lari ke hutan kemudian menyanyiku,.

Ku lari ke pantai kemudian teriakku
Sepi..sepi dan sendiri aku benci
Ingin bingar aku mau di pasar..
Bosan aku dengan penat
Enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri

Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Ada malaikat menyulam jaring labah-labah belang di tembok keraton putih
Kenapa tidak kau goyangkan saja locengnya biar terdera
Atau aku harus lari kehutan
Belok ke pantai..?

Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri

Jumat, 16 Desember 2011

Indra… What? Indra Darwin??!!

Kalau lu punya nyokap yang punya banyak anak kayak nyokap gw (baca: 4 anak), mungkin lu akan merasakan pengalaman di mana nyokap lu itu salah manggil nama.

“Yos, ambilin remote dong!”

“Aku Hannie kali Ma…” (dengan muka SWT)

“Eh iya…”

Ya begitulah kira-kira. Malah pernah nyokap gw nyebutin 4 nama sekaligus… Saking lagi buru-buru. Sering kali gue omelin nyokap gue. Hahahahah. Ya begitulah nyokap gue.

Tapi suatu hari gue tahu perasaan nyokap gue, perasaan di mana lu ngerasa udah nyebut nama orang dengan bener, padahal lu tuh salah. Dan celakanya, semua orang tahu lu salah kecuali elu. Dan kemudian lu sadar sendiri elu tuh salah. Tapi, semuanya udah terlambat.

Ini cerita gue saat gue masih unyu (sekarang juga masih unyu sih) di bangku SMA… Ya, kira-kira tahun 2008. Jadi begini….

Di suatu siang yang membosankan…. Saat itu lagi pelajaran lab bahasa Inggris… Tapi kali ini tidak di lab seperti biasanya melainkan di kelas. Waktu itu Pak Sugi (guru bahasa Inggris gue) lagi nulisin nama-nama tokoh yang nantinya akan jadi bahan story telling kita. Jadi, ada tugas menceritakan seorang tokoh terkenal dalam bahasa Inggris. Pak Sugi menuliskan nama-nama tokoh yang dipilih oleh temen-temen gue. Urutannya itu berdasarkan abjad. Semakin nama lu diawali abjad-abjad awal, semakin lu bisa milih. Dan sayangnya, nama gue adalah Yohannie. Jadilah gue termasuk orang-orang terakhir yang bisa milih dengan enak.

Waktu itu gue ngantuuuuuuukkk banget. High school life gitu lho, bawaannya selalu aja ngantuk (kenapa ya?). Gw nunggu dengan santai. Isadora Duncan, Isaac Newton, dan Leonardo Da Vinci uda ada yang milih. Duh, apa yah? Nah, sampailah ke giliran gue…

“Yohannie mau ambil tokoh siapa?” tanya Pak Sugi.

“Indra Darwin, Pak…” kata gue datar.

“Charles Darwin?” tanya Pak Sugi yang tampak bingung. Kelas hening.

“Indra Darwin, Pak….” Kata gue lagi. Yakin men.

“Charles Darwin?” tanya Pak Sugi lagi.

“Itu lho Pak, Indra Darwin yang pahlawan revolusi….”

Ini Pak Sugi kenapa dibilangin nggak ngerti-ngerti. Kan gue bilang Indra Darwin. Kenapa dia ngotot banget. Eh tunggu…. Indra… What?? Indra Darwin??

Sayang oh sayang, gue telat menyadari kebodohan gue. Kelas langsung ribut. Temen-temen pada ketawa. Aduuuh muka gue merahnya uda kayak kepiting rebus. Gue cuman nutupin muka pake kertas aja sambil ikutan ketawa (begonya, ngapain juga gue ikut ketawa ya???)

Gue nengok ke arah temen gue. Namanya Indra Darwin. Gue nggak tau kenapa kok bisa-bisanya nyebutin nama dia. So pasti, karena dia itu nama belakangnya sama ama Charles sih. Tapi… yaaaa kok bisa-bisanya sih! Aduhhhh…………….. Mama, maafkan aku. Kualat deh gue!

Senin, 12 Desember 2011

Sebuah Pertanyaan Akan Tuhan

Setiap malam saya berdoa,
Setiap malam pula saya mempertanyakan,
Apakah Tuhan benar-benar mendengarkan doa saya?
Apakah Tuhan akan mengabulkan doa saya?
Karena semakin hari,
Saya semakin yakin,
Bahwa manusia berdiri di atas karmanya sendiri,
Maka dari itu,
Doa tidak akan mengubah apapun,
Di samping itu,
Diam-diam saya berharap,
Bahwa Tuhan benar-benar ada dan dia mendengarkan doa saya,
Dan dia mengabulkan doa saya,
Semua yang tak terlihat itu memang benar-benar membingungkan.

Minggu, 04 Desember 2011

Oasis di Tengah Padang Pasir












Kecewa
Marah
Gelap
Buntu
Penat
Lemas
Tak berdaya
Tak punya kuasa
Tak punya apapun
ARGH!

Tak punya arah
Putus asa
Tinggal mati saja

Tapi percayalah,
Hai manusia
Yang penuh pengharapan

Selalu ada oasis di tengah padang pasir

(Yohannie Linggasari)

Senin, 28 November 2011

Lima

Lima itu angka
Anggap saja lima dari sepuluh

Lima itu bukan angka
Ia adalah huruf
El i em dan a

Lima itu bukan angka
Juga bukanlah huruf
Lima adalah guratan garis yang tidak terputus

Lima itu bukan angka
Bukan huruf
Bukan guratan garis
Lima itu ibu kota Peru
Itu, yang di Amerika sana

Lima bukan angka!
Lima bukan huruf!
Lima bukan guratan garis!
Bukan juga ibu kota!

Lima adalah lima
Tidak, lima belum tentu lima!

(Yohannie Linggasari)

*Kebenaran itu tidaklah manunggal. Kebenaran itu tidak mutlak.

Rabu, 16 November 2011

Sampahku Hartaku

Lukisan yang terbuat dari sampah karya Rachmat Hidayat. Suka!

“Bu, beli bungkus kopi 1 ons, dong!” ujar seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah. Eis Monalisa (57) segera menghampiri murid sekolah dasar tersebut. Ia mengambil beberapa bungkus kopi dan menimbangnya. “Nih, seribu rupiah,” ujar Eis.

Anak laki-laki itu adalah Septio Ramadhan (11). Ia mendapatkan tugas dari sekolahnya untuk membuat barang kerajinan tangan dari barang bekas. Tak berapa lama, muncul lagi murid sekolah dasar lainnya, hendak membeli bungkus kopi pula. Sayang, barang yang dicari telah habis karena begitu banyak permintaan.

Beberapa saat kemudian, muncul warga lainnya. Kali ini ia tidak berniat membeli sesuatu, melainkan ingin menabung. Namun, bukan uang yang ia tabung. Ia menabung sekarung gelas plastik bekas air mineral. “Saya sekalian mau ambil tabungan saya, ya,” ujarnya. Eis segera mengecek buku besar yang tergeletak di meja. Lalu, ia memberikan uang sebesar Rp20.000 kepada warga tersebut.

Begitulah suasana di kantor Bank Sampah Wargi Manglayang RW 06. Warga sekitar dapat membeli serta menjual sampah. Sampah dari warga tersebut ditabung. Pengelola kemudian akan menjualnya ke lapak yang menawarkan harga tertinggi. Nasabah bisa mengambil tabungannya apabila sampahnya sudah terjual.

Sampah yang dapat ditabung adalah sampah anorganik, misalnya kertas, kardus, majalah, koran, gelas plastik, atau botol plastik. Nasabah diharapkan sudah memilah dan membersihkan sampahnya di rumah sehingga memudahkan pengelola Bank Sampah. “Sampah yang sudah dipilah dan dibersihkan dihargai lebih tinggi,” ujar Eis, salah satu pengelola Bank Sampah.

Gelas plastik yang kotor dihargai Rp3000 per kilogram, sedangkan yang bersih akan dihargai Rp5000 per kilogram. Kertas buram dihargai Rp300 per kilogram, sedangkan kertas putih dihargai Rp1200 per kilogram. Koran dan majalah pun harganya dibedakan, tergantung jenis kertasnya.

Tidak semua sampah yang ditabung akan dijual lagi. Ada pula yang didaur ulang. Misalnya saja, bungkus kopi yang bisa disulap menjadi payung atau kantung plastik yang diubah menjadi tas. Bahkan, sampah-sampah tersebut bisa dijadikan lukisan. Rachmat Hidayat (62) adalah warga RW 06 yang gemar melukis dengan memasukkan sampah. “Saya memang hobi melukis. Kemudian muncul ide, mengapa tidak saya gunakan saja sampah-sampah ini. Akhirnya terciptalah lukisan sampah,” ujar laki-laki yang merupakan salah satu pelopor Bank Sampah ini.

Sementara itu, sampah organik akan didaur ulang menjadi kompos. Pengelola Bank Sampah telah melakukan penyuluhan sehingga masyarakat mengerti bagaimana membuat kompos sendiri. Alhasil, sampai saat ini, sudah banyak warga yang bisa melakukan pengomposan sendiri.

Ide pembuatan bank sampah ini datang karena adanya program Bandung Green and Clean (BGC) pada tahun 2009. Warga RW 06 sepakat membuat bank sampah untuk dilombakan dalam BGC. Pelopornya adalah sejumlah ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), serta warga lainnya yang berminat. Bank Sampah ini resmi dibuka pada 29 November 2009 lampau. Tidak sia-sia, bank sampah memperoleh juara umum dalam BGC serta juara I perlombaan bank sampah.

Cheylna Mubaidi (51) merupakan salah satu pelopor yang berjasa dalam pendirian Bank Sampah. Ia merasa berkewajiban untuk mengajak warga peduli lingkungan. “Saya merasa terpanggil. Memang tidak semua orang suka mengurusi sampah karena kotor atau menjijikkan, tetapi kami sudah teruji,” ujarnya sambil tersenyum.


Hasil kerajinan tangan Bank Sampah Wargi Manglayang RW 06

Saat ini nasabah Bank Sampah sudah mencapai sekitar 200 kepala keluarga atau 50 persen dari warga RW 06. Pada awalnya, tidak mudah untuk mendapatkan kepercayaan warga. Namun, perlahan-lahan warga ikut berpartisipasi setelah sadar bahwa sampahnya mempunyai nilai yang tinggi. “Ada warga yang merasa sangat jijik memungut sampahnya sendiri. Namun, setelah tahu nilai sampahnya tinggi, langsung cari sampah satu kompleks,” cerita Rachmat Hidayat sambil tertawa.

Pengelola Bank Sampah cukup rutin melakukan sosialisasi mengenai gaya hidup ramah lingkungan ke warga-warga RW 06. “Biasanya kami mengecek, apakah pengomposan masih sering dilakukan. Apabila sudah mandek, kami akan berikan motivasi supaya pengomposan terus dilakukan,” ujar Chelyna. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memanfaatkan barang bekas menjadi barang kerajinan tangan.

Amrizal (63), warga RW 06 mengatakan ia cukup senang dengan kehadiran Bank Sampah. “Sekarang lingkungan jadi agak bersih. Sampah tidak berserakan lagi,” ujar laki-laki asal Padang ini. Amrizal juga rajin membuat kompos di rumahnya.

Enri Damanhuri (62), ahli pengelolaan buangan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan peran Bank Sampah merupakan salah satu cara pengolahan sampah yang berfungsi untuk mengurangi sampah. Namun, tetap saja, Bank Sampah tidak akan mengurangi sampah 100% karena hanya menerima sebagian kecil sampah yang dihasilkan rumah tangga.

Enri yang juga Guru Besar ITB itu berpendapat, pengolahan sampah di Indonesia masih sangat sederhana. Indonesia masih teringgal dalam bidang teknologi pengolahan sampah. Alasannya, belum adanya dana, kurangnya prioritas pemerintah untuk pengolahan sampah, serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampahnya sendiri.

Di Bandung sendiri, Enri melihat tingkat kesadaran masyarakatnya masih kurang. “Program sadar lingkungan di Bandung baru muncul tahun 2009 ketika ada Bandung Green and Clean. Padahal, di kota-kota lainnya seperti Surabaya, program semacam itu sudah ada sejak awal tahun 2000,” ujarnya. (Yohannie Linggasari)