RSS

Rabu, 16 November 2011

Sampahku Hartaku

Lukisan yang terbuat dari sampah karya Rachmat Hidayat. Suka!

“Bu, beli bungkus kopi 1 ons, dong!” ujar seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah. Eis Monalisa (57) segera menghampiri murid sekolah dasar tersebut. Ia mengambil beberapa bungkus kopi dan menimbangnya. “Nih, seribu rupiah,” ujar Eis.

Anak laki-laki itu adalah Septio Ramadhan (11). Ia mendapatkan tugas dari sekolahnya untuk membuat barang kerajinan tangan dari barang bekas. Tak berapa lama, muncul lagi murid sekolah dasar lainnya, hendak membeli bungkus kopi pula. Sayang, barang yang dicari telah habis karena begitu banyak permintaan.

Beberapa saat kemudian, muncul warga lainnya. Kali ini ia tidak berniat membeli sesuatu, melainkan ingin menabung. Namun, bukan uang yang ia tabung. Ia menabung sekarung gelas plastik bekas air mineral. “Saya sekalian mau ambil tabungan saya, ya,” ujarnya. Eis segera mengecek buku besar yang tergeletak di meja. Lalu, ia memberikan uang sebesar Rp20.000 kepada warga tersebut.

Begitulah suasana di kantor Bank Sampah Wargi Manglayang RW 06. Warga sekitar dapat membeli serta menjual sampah. Sampah dari warga tersebut ditabung. Pengelola kemudian akan menjualnya ke lapak yang menawarkan harga tertinggi. Nasabah bisa mengambil tabungannya apabila sampahnya sudah terjual.

Sampah yang dapat ditabung adalah sampah anorganik, misalnya kertas, kardus, majalah, koran, gelas plastik, atau botol plastik. Nasabah diharapkan sudah memilah dan membersihkan sampahnya di rumah sehingga memudahkan pengelola Bank Sampah. “Sampah yang sudah dipilah dan dibersihkan dihargai lebih tinggi,” ujar Eis, salah satu pengelola Bank Sampah.

Gelas plastik yang kotor dihargai Rp3000 per kilogram, sedangkan yang bersih akan dihargai Rp5000 per kilogram. Kertas buram dihargai Rp300 per kilogram, sedangkan kertas putih dihargai Rp1200 per kilogram. Koran dan majalah pun harganya dibedakan, tergantung jenis kertasnya.

Tidak semua sampah yang ditabung akan dijual lagi. Ada pula yang didaur ulang. Misalnya saja, bungkus kopi yang bisa disulap menjadi payung atau kantung plastik yang diubah menjadi tas. Bahkan, sampah-sampah tersebut bisa dijadikan lukisan. Rachmat Hidayat (62) adalah warga RW 06 yang gemar melukis dengan memasukkan sampah. “Saya memang hobi melukis. Kemudian muncul ide, mengapa tidak saya gunakan saja sampah-sampah ini. Akhirnya terciptalah lukisan sampah,” ujar laki-laki yang merupakan salah satu pelopor Bank Sampah ini.

Sementara itu, sampah organik akan didaur ulang menjadi kompos. Pengelola Bank Sampah telah melakukan penyuluhan sehingga masyarakat mengerti bagaimana membuat kompos sendiri. Alhasil, sampai saat ini, sudah banyak warga yang bisa melakukan pengomposan sendiri.

Ide pembuatan bank sampah ini datang karena adanya program Bandung Green and Clean (BGC) pada tahun 2009. Warga RW 06 sepakat membuat bank sampah untuk dilombakan dalam BGC. Pelopornya adalah sejumlah ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), serta warga lainnya yang berminat. Bank Sampah ini resmi dibuka pada 29 November 2009 lampau. Tidak sia-sia, bank sampah memperoleh juara umum dalam BGC serta juara I perlombaan bank sampah.

Cheylna Mubaidi (51) merupakan salah satu pelopor yang berjasa dalam pendirian Bank Sampah. Ia merasa berkewajiban untuk mengajak warga peduli lingkungan. “Saya merasa terpanggil. Memang tidak semua orang suka mengurusi sampah karena kotor atau menjijikkan, tetapi kami sudah teruji,” ujarnya sambil tersenyum.


Hasil kerajinan tangan Bank Sampah Wargi Manglayang RW 06

Saat ini nasabah Bank Sampah sudah mencapai sekitar 200 kepala keluarga atau 50 persen dari warga RW 06. Pada awalnya, tidak mudah untuk mendapatkan kepercayaan warga. Namun, perlahan-lahan warga ikut berpartisipasi setelah sadar bahwa sampahnya mempunyai nilai yang tinggi. “Ada warga yang merasa sangat jijik memungut sampahnya sendiri. Namun, setelah tahu nilai sampahnya tinggi, langsung cari sampah satu kompleks,” cerita Rachmat Hidayat sambil tertawa.

Pengelola Bank Sampah cukup rutin melakukan sosialisasi mengenai gaya hidup ramah lingkungan ke warga-warga RW 06. “Biasanya kami mengecek, apakah pengomposan masih sering dilakukan. Apabila sudah mandek, kami akan berikan motivasi supaya pengomposan terus dilakukan,” ujar Chelyna. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memanfaatkan barang bekas menjadi barang kerajinan tangan.

Amrizal (63), warga RW 06 mengatakan ia cukup senang dengan kehadiran Bank Sampah. “Sekarang lingkungan jadi agak bersih. Sampah tidak berserakan lagi,” ujar laki-laki asal Padang ini. Amrizal juga rajin membuat kompos di rumahnya.

Enri Damanhuri (62), ahli pengelolaan buangan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan peran Bank Sampah merupakan salah satu cara pengolahan sampah yang berfungsi untuk mengurangi sampah. Namun, tetap saja, Bank Sampah tidak akan mengurangi sampah 100% karena hanya menerima sebagian kecil sampah yang dihasilkan rumah tangga.

Enri yang juga Guru Besar ITB itu berpendapat, pengolahan sampah di Indonesia masih sangat sederhana. Indonesia masih teringgal dalam bidang teknologi pengolahan sampah. Alasannya, belum adanya dana, kurangnya prioritas pemerintah untuk pengolahan sampah, serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi sampahnya sendiri.

Di Bandung sendiri, Enri melihat tingkat kesadaran masyarakatnya masih kurang. “Program sadar lingkungan di Bandung baru muncul tahun 2009 ketika ada Bandung Green and Clean. Padahal, di kota-kota lainnya seperti Surabaya, program semacam itu sudah ada sejak awal tahun 2000,” ujarnya. (Yohannie Linggasari)


2 komentar:

Claude C Kenni mengatakan...

Wah kreatif banget. Gua juga pernah dikasih temen, sebuah kaleng pensil yg terbuat dari bekas Indomie, hehehe

Haney mengatakan...

Yep sangat kreatif.
Harus dihargai nih yg kyk gini, walaupun sebenernya Indo masih di titik nol dan tradisional bgt dalam hal pengolahan sampah. ckckck

Posting Komentar