RSS

Rabu, 16 November 2011

5,4,3,2,1 Hari Lagi

Heyyaaa, saya nggak ngerti kenapa tiba-tiba saya mulai nulis cerpen lagi. Terakhir itu waktu SD. Hehehe. Dan setelah saya baca-baca uwoooww kok bisa-bisanya saya bikin cerpen super melankolis begini?

Entahlah. Mia dan Carel tiba-tiba datang dan minta untuk dimuntahkan.

sumber: good-for-nothin.blogspot.com

10 November 2011

“Lepasin Mia! Lepasin! Lepasiiiiin!!!!” Tubuhku tegang, berkeringat, jantungku berdebar dengan sangat kencang. Saking kencangnya, seperti ingin meloncat ke luar. Napasku memburu. Mataku membuka dengan tiba-tiba. Kulihat langit-langit kamarku. Oh, ternyata cuma mimpi. Sering sekali aku mimpi buruk, sejak dua tahun lalu. Itulah sebabnya aku sungguh benci tidur. Alasan lainnya, karena aku tidak pernah memimpikan Carel, satu kali pun! Padahal, itu satu-satunya alasan aku tidur. Mungkin pikirmu aku berlebihan. Tapi, memang begitulah aku. Tidak banyak yang bisa mengerti diriku. Rasanya hanya Carel seorang yang bisa. Bahkan, papa dan mama pun tidak bisa mengerti aku. Mereka pekerja keras yang melupakan anaknya. Mereka sudah bercerai sejak aku masih 9 tahun. Mungkin karena itu juga, aku jadi membenci meerka dan sampai sekarang tidak pernah merasa dekat dengan mereka.

Carel adalah pacarku. Ia sungguh baik. Bagiku, ia sempurna. Oh, tidak, ia tidak sempurna. Ia terlalu tinggi! Aku sungguh malu berjalan di sampingnya yang setinggi 170cm itu. Aku yang memiliki tinggi hanya 160cm merasa kebanting sekali. Paling sedih bila ada yang mengira kami ini kakak adik. Oh teganya. Sudah hampir 2 tahun aku tak berjumpa dengan Carel. Tapi, 5 hari lagi, aku akan berjumpa dengannya. Kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 23.35. Aku menutup mataku. Cukup lelah badan ini, aku butuh tidur.

11 November 2011

Cahaya matahari yang menembus jendela membangunkan aku di 11 November ini. Ah, masih pukul 6, tetapi aku memang tak mau tidur lagi. Aku segera bangun dan duduk di depan meja riasku. Kusisir rambutku yang panjang lurus ini. Aku suka sekali rambut hitamku ini. Carel juga suka. Dia bilang aku seperti model shampoo. Dia memang suka sekali memuji. Entah apa benar-benar datang dari hatinya atau ia hanya menggombal? Semoga Carel tidak pernah membohongiku. Kulihat sekilas foto-foto yang menempel di dinding-dinding kamarku. Kenanganku bersama Carel. Betapa kumerindukan saat-saat itu. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Argh, aku benci bila ia sudah bertingkah seperti ini. Ia memang punya kunci duplikat kamarku, tetapi kenapa masuk seenaknya?

“Pagi, sayang. Sudah bangun toh. Makan yuk? Mama udah bikinin sup tomat kesukaanmu,”

“Nggak. Mia nggak nafsu.”

“Tapi kamu tetep harus makan. Yuk?”

Mama menghampiriku dan menggandeng tanganku. Aku sudah lelah menolaknya. Aku hanya mengikutinya dan kemudian makan dengan terpaksa. Aku tidak ingat sejak kapan aku tidak suka sup tomat. Padahal, dari dulu aku selalu menyukainya.

“Hari ini aku boleh pergi?”

“Boleh, selama ditemenin Pak Lutfi.”

“Lebih baik nggak usah aja kalo gitu.”

Mama diam saja. Jahat.

4 hari lagi.

12 November 2011

Sore ini aku mengisi waktu dengan merangkai bunga. Ini memang hobiku. Aku jadi ingat dulu Carel senang sekali melihatku merangkai bunga. Ia bilang aku seperti istri idaman. Lagi-lagi, aku tidak tahu apakah ia gombal atau tidak. Carel dan aku berpacaran sejak 9 Maret 2007. Ia pacar yang baik sekaligus satu-satunya sahabat yang aku miliki. Dan, ia pun guru pianoku. Saat itu aku masih 16 tahun dan Carel 20 tahun. Aku sudah suka padanya dari pandangan pertama. Ah, pipiku langsung memerah.

Terdengar suara mobil di luar. Ternyata papa. Dasar, papa dan mama menjadi begitu baik sekarang. Begitu perhatian. Mama sampai pindah ke mari tinggal bersamaku di rumah nenek. Ya, dari kecil aku tinggal dengan nenek. Papa dan mama punya hidupnya sendiri. Nenek sudah meninggal sejak setahun lalu. Aku sangat sedih saat itu. Mengapa semua orang meninggalkanku?

Papa meletakkan brosur-brosur universitas di meja tempat aku merangkai bunga.

“Mia, papa tadi baru aja ketemu sama agen pendidikan luar negeri. Ini brosur-brosurnya. Coba kamu lihat-lihat dulu.”

Nggak usah repot-repot. Aku nggak niat kuliah lagi.”

“Sampai kapan mau begini terus, Nak?”

“Sampai aku ketemu Carel.”

“Hentikan omong kosong ini. Kamu tau sendiri Carel...”

“Cukuuuuuuup!”

Aku berlari ke kamar. Air mata sudah tak terbendung lagi. Aku menangis sejadinya. Papa memang tak pernah menyukai Carel. Menurutnya, Carel tidak punya masa depan. Papa pernah memergoki Carel berjalan dengan gadis lain. Sebenarnya itu adalah adiknya. Papa salah paham. Carel tidak pernah sekalipun meninggalkan aku. Aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.

“Kamu harus ngawasin Mia! Bagaimana kalau kejadian dulu terulang?”

“Aku yang jagain Mia terus. Kamu tau apa? HAH???”

Lagi. Papa dan mama bertengkar. Mereka memang tidak suka kalau aku sampai bertemu Carel.

13 November 2011

Ya Tuhan, aku sangat sangat kangen sama Carel. Aku lalu mengambil sebuah buku tebal bercover kulit. Kubuka perlahan. Semuanya tentang diriku. Banyak sekali fotoku di dalamnya. Banyak juga foto bersama Carel. Ini adalah buku Carel. Ia membuat semua ini untukku. Aku dapatkan buku ini dari adiknya.

Kubuka lagi halaman lainnya. Ah, ada sebuah tempelan sticky notes.

Thanks Carel udah nemenin hidupku selama ini. Aku seneng banget bisa punya kamu. Kamu tau tadi aku berdoa apa sebelum meniup lilin? Aku bilang sama Tuhan, aku ingin menikah dengan kamu di umurku yang ke-20 tahun. Hehehe, yep its just a wish!”

Aku jadi ingat hari itu. Ulang tahunku yang ke-16. Aku merayakannya hanya berdua dengan Carel. Bahagia sekali. Saat pulang, ia mengantarku dengan mobil tua papanya. Diam-diam, kutempelkan sticky notes itu.

Kubaca kalimat di bawah sticky notes yang ditempel Carel.

“Mia, mungkin saat itu aku nggak akan nikahin kamu. Tapi, aku akan melamar kamu di tempat kita kencan pertama kali. Sambil melihat sunrise. Nah, kamu suka yang romantis-romantis kan? Hahaha.”

2 hari lagi, Carelku.

14 November 2011

“Ma, aku mohon, kali ini aja, ijinin aku pergi sendiri. Mama tau kan, besok aku ulang tahun? Aku mau ke salon dan belanja.”

Mama terlihat menimbang-nimbang. Agak lama. Kemudian....

“Oke, tapi kamu tetep dianter Pak Lutfi ya?”

Aku mengangguk kesenangan. Segera aku menyabet tas jinjingku yang bermotif bunga.

“Mia,” mama memanggil, “Jangan lupa nanti minum obatmu, ya.” Aku hanya mengangguk.

Aku pulang ke rumah dengan hati puas. Rambutku sudah wangi karena telah di-creambath. Aku juga sudah belanja banyak tadi. Aku rasa terusan putih nan simpel akan jadi menarik sekali. Soalnya, Carel suka sekali warna putih. Kemudian, aku juga telah membeli eau de toilette Body Shop beraroma mawar. Besok akan jadi hari yang sangat spesial karena aku akan bertemu dengan Carel.

Sekarang, tinggal bagaimana caranya aku keluar dari rumah ini esok pagi sebelum matahari terbit tanpa sepengetahuan mama. Kubuka tas jinjingku, kukeluarkan beberapa kunci. Tadi siang, aku telah membuat duplikat kunci-kunci rumahku. Oh, hatiku campur aduk antara takut dan tak sabar. Cepatlah esok karena aku akan bertemu dengan pujangga hatiku.

15 November 2011

Jam dinding masih menunjukkan pukul 5. Namun, aku sudah rapi dan duduk di depan meja riasku. Kusisir rambutku yang panjangnya sepinggang. Wajahku sudah cantik dipoles dengan bedak. Sekujur tubuh pun sudah wangi mawar. Aku lalu memakai sepatu flat putihku. Wah, cocok sekali dengan gaunku ini. Segera, aku menyabet pula tas kecilku yang juga berwarna putih.

Dengan sangat perlahan, aku berjingkat dari kamarku keluar. Rumah masih sepi. Mama biasanya baru bangun pukul 6. Aku tengok dapurku. Ada lilin angka 2 dan 0 di atas meja dapur. Mama sudah menyiapkannya untukku. Ah, aku tak peduli. Ruang tamu sudah terlewati. Segera aku membuka pintu utama. Semoga saja Pak Lutfi tak mendengar jingkat kakiku ini. Aku sudah seperti maling saja. Pekarangan rumah sudah terlewati, sekarang aku tepat berada di depan pagar rumah. Aku buka gemboknya pelan-pelan. Fiuh, semua berjalan dengan lancar. Untung saja, rumahku berada di pinggir jalan raya. Aku memberhentikan taxi.

“Pak, ke jembatan layang di dekat Plaza Semanggi itu, ya!”

Si supir hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian aku sampai. Ah, masih belum terlambat untuk matahari terbit. Aku segera naik ke atas jembatan layang. Aku masih ingat hari itu. Aku dan Carel kebingungan harus kencan ke mana. Akhirnya, kami malah ke jembatan layang ini. Memandang mobil-mobil yang menderu di bawah, orang-orang yang wara-wiri, pedagang yang mencari nafkah, serta bangunan-bangunan pencakar langit. Kami berdua sangat nyaman menghabiskan waktu di sini. Mengobrol dan tertawa.

Kulihat ke bawah, mobil menderu dengan cepat. Angin berembus menerpa pipiku. Dingin. Namun aku keringatan. Aku terlalu takut. Aku harap-harap cemas. Akankah aku bertemu Carel? Di tempat kita pertama kali kencan ini? Hari ini, sesuai janjinya? Aku menengok kiri kananku, tak ada orang. Tak ada tanda-tanda orang akan datang pula. Carel, aku kangen sekali. Aku ingin bertemu. Please, temui aku. Napasku mulai kacau, tanganku gemetaran. Segera aku memegang erat palang besi jembatan layang ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Kakiku mulai merayap ke palang-palang besi jembatan ini. Kupejamkan mataku. Semuanya akan berlalu dengan sangat cepat. Carel, aku datang.

Headline koran sore itu:

Seorang gadis loncat bunuh diri dari jembatan layang Semanggi pada Selasa (15/11) pagi ini. Terdapat foto korban bersama seorang laki-laki dalam genggaman tangannya. Menurut Lani, orangtua korban, anaknya tersebut menderita depresi berat semenjak ditinggal tewas oleh kekasihnya. Kekasihnya tewas ditikam perampok di jembatan layang Semanggi dua tahun lalu..................

Bila kudapatkan engkau dalam gelap,

Maka kan kukejar gulita

Bila kudapatkan engkau dalam cahaya,

Maka kan kukejar bintang-bintang

Bila kudapatkan engkau dalam maut,

Maka kan kukejar kematian

Supaya engkau tak lagi ragu,

Bahwa kucinta kau lebih dari hidup ini

(Yohannie Linggasari)

0 komentar:

Posting Komentar