RSS

Senin, 31 Oktober 2011

I Am Afraid

Source: juliehibbard.blogspot.com


You say that you love rain,

but you open your umbrella when it rains..

You say that you love the sun,
but you find a shadow spot when the sun shines,

You say that you love the wind,
But you close the windows when wind blows,

This is why I am afraid,
You say that you love me too...


-William Shakespeare-

Rabu, 26 Oktober 2011

Ah, Kamu Ini... Pura-pura Saja!

Source: siscanatalia.tumblr.com


Dulu waktu saya kecil, saya pengeeeeen banget bisa memberi banyak uang kepada pengemis. Kalau ketemu pengemis, saya selalu minta uang ke orangtua untuk memberikannya kepada mereka. Wah, dulu mah saya berhati malaikat banget... Seiring dengan bertambahnya usia, saya jadi makin apatis (bila bisa disebut demikian). Saya makin nggak yakin dengan apa yang saya lihat. Apa betul, mereka ini pengemis? Jangan-jangan, pura-pura aja kali! Saya beranggapan, pengemis zaman sekarang itu nipu doang. Pura-pura. Palsu!

Belakangan ini, saya menemukan beberapa fakta yang memperkuat asumsi saya. Kira-kira seminggu yang lalu, seperti biasa, kalau nggak kesiangan, saya jalan kaki dari kosan ke kampus tercinta. Nah, di area gerbang Unpad emang banyak banget pengemis. Wuiiih, berjajar deh pokoknya! Tambah lama tambah banyak. Saya jarang banget ngasih uang ke pengemis-pengemis itu. Bukan karena pelit, tetapi karena hal yang saya bilang tadi (bukan alibi yah).

Ketika saya berjalan, saya melihatt di depan saya ada seorang pengemis perempuan yang berpakaian lusuh (ya iya lah yaaa, namanya juga ngemis). Umurnya sekitar 40 tahun (menurut pandangan subjektif saya). Ia sedang menunduk. Saya perhatikan, sedang apa sih dia? Ternyata oh ternyata..... Dia sedang menghitung uang hasil ngemisnya. Saya lihat, itu segepok uang seribuan! Lembaran seribuan itu sudah tertata rapi. Saya lihat, minimal ada Rp100.000. Itu masih siang lho... Coba bayangin, kalau dia ngemis sampai sore, berapa yang bisa ia dapatkan? Kalau ia ngemis seminggu, berapa? Eeeebuseeedd, masih lebih kaya dia daripada saya.

Beberapa hari berikutnya, saya menemukan kejanggalan lagi. Saya baru saja pulang dari kampus. Lagi-lagi melewati gerbang Unpad yang sangat ramai dengan mahasiswa yang lalu lalang. Ada pengemis yang sedang duduk tepat di seberang saya ketika saya melengos keluar dari Unpad. Pengemis ini perempuan, tetapi berbeda dengan pengemis yang sebelumnya saya ceritakan. Ada tukang es potong di dekatnya. Tiba-tiba, tukang es potong itu memberikan selembar Rp50.000 kepada pengemis itu. Entahlah, ada affair apa mereka. Hahaha. Ya, aneh aja. Aneh kan ya?

Bukan hanya pengemis yang banyak di Jatinangor, pengamen pun tak kalah menjamur. Pengamen-pengamen ini rajin banget "bertandang" ke tempat-tempat makan di Jatinangor. Sampai-sampai, saya hapal lho wajah mereka, dari yang emang bisa nyanyi, sampai yang cuman bisa berlagak autis dengan bau lem aibon di bajunya. Suatu hari, saya tak sengaja bertemu seorang pengamen di sebuah toko kelontong. Pengamen ini membeli beberapa batang rokok. Wuidiiih, makin ilfeel lah saya. Udah cape-cape ngamen malah dipake beli rokok. Waduh, tambah apatis aja saya jadinya. Saya ogah juga, kalau udah ngasih duit, ehhh duit emak bapak saya dipake buat beli rokok. Mboookk yaaa, buat beli makan...... Lebih ikhlas saya.

Oya, saya juga punya pengalaman tak mengenakkan dengan pengamen. Waktu itu, saya masih SMA (masih lucu-lucunya gitu lho). Saya dan tante saya sedang makan di Seafood tenda di dekat rumah saya. Lagi asyik-asyik makan dengan tangan, ehh ada pengamen nyamperin. Saya dan tante saya nggak menggubris karena kami sedang makan (sampai lupa daratan). Kira-kira baru dua menit pengamen itu menyanyi, ia malah mengamuk. Ia memukul meja kami, dan berteriak "KALAU NGGAK MAU NGASIH, BILANG DONG!!"

What theeeee.................. Saya sama tante saya cuman bisa bengong sambil tatap-tatapan. Dasar pengamen labil -_______-"""

Jadi, apatislah pada saat yang tepat.


My Fav Emo Quotes. Ever!

Tragedi Muara Bangke #fiksimini


Jeritan manusia-manusia tak berdosa itu mendadak hening,
digantikan dengan banjir cairan merah nan amis

Alam pun menangis
Mungkin, para arwah itu meratap

"Apa salahku? Mengapa kalian menghabisi kami?
Salahkah bila kuterlahir seperti ini?
Kenapa tidak kau salahkan saja Tuhanmu itu?"

Kubangan jasad itu menimbulkan prasangka yang kekal di kemudian hari,
tanpa balas dendam
Banyak yang memilih amnesia,
tapi toh tetap tertulis dalam lembaran sejarah

Ya, sebuah tragedi di Muara Bangke

Rabu, 05 Oktober 2011

Musim Lebaran, Musimnya Ngemis


*Hasil tugas penulisan berita khas (feature) yang pertama. Masih amburadul dan berasa sampah banget ckckck.


Hari itu Teti tidak mengamen. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia lebih memilih untuk mengemis di hari yang penuh berkah itu. Teti tidak datang sendiri. Ia membawa serta seorang anak laki-lakinya yang masih kecil.

Selasa (30/8) pagi itu, sekitar 25 orang dengan pakaian lusuh sudah siap menjalankan aksinya. Teti salah satunya. Setidaknya, setengah dari jumlah tersebut adalah anak di bawah umur. Mereka setia menunggu di depan gerbang Masjid Al-Muhajirien Jaka Permai Bekasi. Sesekali, saling mengobrol dengan teman seperjuangannya. Incarannya sebentar lagi keluar.

Di dalam masjid, umat Muslim sedang khusyuk menjalankan Shalat Ied. Terdapat sekitar 2500 umat memenuhi masjid. Laki-laki maupun perempuan di tempat yang terpisah terlihat sungguh-sungguh menempelkan dahinya di permukaan sajadah yang berwarna-warni. Sementara itu, di luar masjid, Teti dan yang lainnya terus menunggu.

Teti hanya mengemis di saat Hari Raya Idul Fitri. Ini bukan kali pertama ia mengemis saat Shalat Ied. Tahun-tahun sebelumnya pun ia selalu menjelma menjadi pengemis saat Shalat Ied. “Yang penting halal, kan? Dibanding nyolong,” ujar Teti.

Teti memiliki tiga orang anak. Suaminya sudah meninggal. Ia mengemis untuk menambah uang sekolah anak-anaknya. Orangtuanya pun sudah meninggal. Hidupnya hanya ditemani oleh anak-anaknya.

Teti, yang tampak berumur sekitar 40 tahun menggendong anak laki-lakinya yang baru akan masuk Sekolah Dasar tahun depan. Hari itu Teti memakai daster coklat bermotif batik. Rambutnya yang menutupi leher digerai begitu saja. Meski mengemis, tubuhnya berisi, bukan kurus kering.

Tak berapa lama, ia melepas gendongannya. Mungkin ia lelah, mungkin juga ia kesal karena anaknya tak bisa diam. Anak Teti bertubuh kurus, kulitnya coklat, dan berambut pirang terbakar matahari. Ia tampak seperti bocah laki-laki lainnya yang suka bermain. Hanya saja, aktivitasnya hari ini tidak sama dengan bocah pada umumnya.

Tiba-tiba, para pengemis bangkit berdiri dan mengeluarkan gelas plastik bekas kemasan air mineral. Shalat Ied sudah usai, umat Muslim melaju keluar. Teti segera menggendong anaknya serta tak lupa mengeluarkan gelas plastik. Ia melesat masuk melewati gerbang masjid, mencoba bersaing dengan pengemis-pengemis lainnya.

Usahanya tak sia-sia. Beberapa umat memberikan lembaran uang yang sangat berharga di matanya. Kadang seribu, kadang lima ribu. Berapa pun banyaknya uang yang ia dapatkan, ia segera memasukkannya ke dalam saku bajunya. Tak heran, gelas plastik di tangannya selalu terlihat kosong.

Sesekali, ia harus mengejar umat yang duduk di motor. Usahanya terbayar ketika lembaran uang masuk ke gelas plastiknya. Namun, ada pula umat yang tak acuh. Melewati begitu saja jajaran pengemis yang meminta belas kasihan. Teti tak patah semangat, ia tetap berusaha dan berusaha.

Pengemis musiman bukan hanya Teti. Irma (60) pun demikian. Ia sudah renta, tetapi harus tetap berjuang untuk sesuap nasi. Irma berpakaian kumal, terlihat dari bercak-bercak kotor yang menempel di pakaiannya yang tipis. Rambutnya yang mungkin sudah memutih semua ia tutupi dengan kain yang tak kalah kumalnya. Tubuh kurusnya berbalut kulit yang sudah keriput.

Sudah sepuluh tahun lamanya Irma mengemis di Masjid Al-Muhajirien saat Shalat Ied. Tubuhnya tak segesit Teti yang masih muda. Gerakannya terbatas. Ia mengandalkan suaranya yang lirih untuk mendapatkan perhatian umat. “Buat Lebaran, Pak... Buat Lebaran, Bu...,” begitu ujarnya.

Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai kuli angkut barang. Namun, penghasilannya tidak sepadan, hanya sepiring nasi. Ia tak puas. Baginya, lebih baik mengemis daripada menjadi kuli dengan upah yang tak layak.

Irma mempunyai delapan anak yang juga hidup susah. Anak-anaknya tidak tahu tentang pekerjaannya sebagai pengemis musiman. Irma tak punya pilihan. Suaminya sudah meninggal. Ia menua dan tak mau merepotkan anak-anaknya yang juga kekurangan. Walaupun begitu, ia bertekad ini adalah tahun terakhirnya menjadi pengemis musiman.

Ada pula pengemis musiman di bawah umur. Namanya Emus (11). Anak perempuan yang memakai baju lengan pendek dan celana sepanjang lutut itu merupakan siswa Sekolah Dasar. Ia sudah mengemis di Masjid Al-Muhajirien saat Hari Raya Idul Fitri sejak tahun 2005. Menurutnya, orang-orang menjadi lebih baik hati ketika Lebaran. “Mungkin karena ini Bulan Ramadhan, orang-orang jadi banyak berbuat amal,” katanya datar.

Ibu dan kakak perempuan Emus juga ikut menjadi pengemis musiman saat Hari Raya Idul Fitri. Sehari-harinya, ibu Emus bekerja sebagai pemulung. Tak jarang, kedua anaknya turut membantu pekerjaannya. Emus harus mengais tempat sampah sepulang sekolah di saat anak-anak perempuan lainnya bermain seusai sekolah. Emus mengaku bisa mendapatkan maksimal Rp50.000 saat mengemis di kala Shalat Ied. Teti dan Irma pun sependapat.

Menurut Satpam Masjid Al-Muhajirien, Suparman, jumlah pengemis memang selalu meningkat di kala Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya. Hal itu sudah semacam tradisi. Wakil Sekretaris Masjid Al-Muhajirien, Muchdor (41), pun mengatakan hal yang serupa. “Sebenarnya kemarin saat Malam Takbiran pihak masjid sudah membagikan zakat fitrah kepada para pengemis itu,” katanya.

Teti dan teman-temannya sulit mengungkapkan makna Lebaran walaupun seorang Muslim. Bahkan, Teti mengaku tidak pernah menjalankan Shalat Ied. “Lebaran bukanlah sesuatu yang spesial buat saya, soalnya saya tidak punya saudara,” jelas Teti.

Irma yang masih memiliki keluarga berpendapat lain. “Lebaran? Boro-boro. Saya saja bingung bagaimana caranya saya pulang kampung karena tak ada ongkos,” ungkapnya sambil menghela napas panjang. Baginya pula, puasa ataupun tidak puasa sama saja, karena toh ia tidak punya uang untuk membeli makan sehari-hari.

Jawaban polos meluncur dari bibir Emus ketika ditanya mengenai makna Lebaran. “Lebaran? Apa, ya? Maaf-maafan mungkin,” ujarnya sambil cengar-cengir. Emus mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh pengharapan. “Saya harap Lebaran tahun depan kehidupan keluarga saya dapat lebih baik lagi,” kata Emus datar. (Yohannie Linggasari)

Untitled


*We should know how to act, sometimes.