RSS

Jumat, 10 Desember 2010

Perempuan, Dunia dan Perjuangannya

Berikut ini adalah hasil tugas saya untuk mata kuliah Wawancara. Sengaja saya pilih topik yang dekat dengan saya, yaitu perempuan dan berbagai permasalahannya untuk diangkat menjadi topik wawancara. Membicarakan perempuan dan permasalahannya tak akan ada habisnya. Sungguh topik yang menarik. Beruntung, narasumber saya adalah sosok yang ramah dan rendah hati dalam menjelaskan ilmunya kepada saya yang masih 'cetek' ini. Dia adalah Saparinah Sadli, pejuang kesetaraan gender.


Saya dan Ibu Sap

Prof. Dr. Saparinah Sadli:

Membedakan Cara Tak Apa, Asal Jangan Perempuan Dianggap Lebih Rendah


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang masih marak terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat, secara akumulatif, sejak 2004-2007 ada sebanyak 25.788 kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI), 1.693 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Anak (KTPA), 2.548 Kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan 467 kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini turut disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan, budaya, media, turut menjadi faktor terjadinya KDRT.

Di tengah ketidaktahuan masyarakat mengenai kesetaraan gender, Prof. Dr. Saparinah Sadli, seorang ahli psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,Ketua Pertama Komnas Perempuan (1998-2004), dan pendiri Pusat Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, sudah memperjuangkan kesetaraan gender sejak ia muda. Selain aktif menulis artikel dan tulisan ilmiah menyangkut isu perempuan, ilmuwan perempuan yang masih terlihat segar, sehat, dan cantik di usianya yang ke-83 tahun ini juga telah menulis beberapa buku menyangkut perempuan, seperti Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (2007) dan Berbeda tetapi Setara (2010).

Perempuan adalah dunia dan perjuangannya. Berikut ini petikan wawancara mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, Yohannie Linggasari, dengan Ibu Sap (begitu Saparinah Sadli akrab disapa), di rumahnya yang asri, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/10) sore:

Faktor utama penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masih rendahnya pendidikan perempuan. Pendidikan di Indonesia semakin maju, tetapi mengapa angka KDRT terus meningkat?

Itu tidak benar. Rendahnya pendidikan itu hanya faktor kecil penyebab terjadinya KDRT. Masalah KDRT itu sangat bervariasi. Banyak perempuan berpendidikan tinggi yang mengalami KDRT. Bukan perempuan dengan pendidikan rendah saja.

Biasanya korban KDRT ini sendiri tertutup dan memendam masalah ini sendiri, bukan?

Biasanya orang yang mengalami KDRT dan melapor bukan yang pertama kali mengalaminya. Biasanya mereka sudah berkali-kali mengalami kekerasan. Mereka mungkin menganggap hal itu biasa, atau tidak boleh dilaporkan oleh orang tuanya. Bila akhirnya mereka melapor, mungkin sudah bertahun-tahun sampai akhirnya mereka tak kuat lagi. Alasan tidak langsung melapor itu macam-macam, di antaranya karena secara ekonomis tidak mandiri, ada yang malu, atau kasihan dengan anak-anaknya. Masalahnya sangat bervariasi menyangkut ekonomi, psikologi, dan budaya.

Apakah akan terjadi pengulangan kasus serupa pada anak yang hidup dalam keluarga KDRT?

Ya karena dia sudah sering menyaksikannya, dia merasa hal itu biasa terjadi. Perempuan akan merasa dipukul itu biasa, sedangkan laki-laki menganggap memukul itu biasa. Akan ada kecenderungan melakukan pengulangan. Orangtua harusnya memahami apa yang ia lakukan bisa ditiru anaknya.

Dari aspek psikologi, adakah ciri-ciri laki-laki yang suka melakukan kekerasan?

Dari penelitian yang sudah dilakukan di luar negeri, pelakunya bisa siapa saja. Memang ditemukan bahwa di setiap diri laki-laki berpotensi melakukan kekerasan. Di psikologi tak ada yang typical. Kalau dari sisi korban ada victim blaming, artinya, yang disalahkan korbannya. Atau dari perempuannya sendiri kurang bisa menjalankan perannya sebagai istri atau ibu.

Apakah benar kalangan yang paling sering mengalami KDRT adalah kalangan bawah?

Tidak. Tidak ada data yang seperti itu. Korbannya bervariasi.

Budaya tampaknya sudah sangat mengakar dan turut menyebabkan ketidaksetaraan, bukan?

Ya. Makanya muncul gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender tersebut. Dulu namanya meningkatkan status perempuan. Kemudian muncul yang namanya gerakan feminisme. Setelah ada istilah feminisme, ada istilah ketimpangan gender.

Apa sebenarnya maksud gender?

Gender itu adalah peran sosial yang diajarkan karena jenis kelamin tertentu. Gender adalah konstruksi sosial dan budaya terhadap seseorang tergantung di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, ia akan berperilaku sesuai nilai budaya setempat. Tetapi setelah dilahirkan, ia diajarkan dan dituntut untuk sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Belajar hal-hal tertentu yang dianggap sesuai atau pantas. Itu berkaitan dengan gender. Orang yang dilahirkan adalah makhluk biologis kemudian menjadi manusia yang beradab, bersosial budaya. Contohnya saja, di Indonesia menerima sesuatu dengan tangan kanan dianggap sopan, sedangkan di Amerika tangan kanan atau kiri sama saja.

Kesetaraan gender mencakup hal apa saja?

Semua kehidupan bersama, seperti lingkungan kerja, lingkungan rumah, dan pendidikan. Intinya adalah setiap manusia diperlakukan sama. Perempuan atau laki-laki.

Tampaknya selama ini terjadi pengotak-ngotakkan gender. Contohnya saja, biasanya bayi laki-laki diberi baju warna biru, sedangkan bayi perempuan diberi baju warna pink.

Ya memang. Sudah ada stereotipe seperti itu. Contohnya saja, stereotipe untuk sifat perempuan adalah manis, sedangkan laki-laki kuat.

Stereotipe-stereotipe yang ada bisa dibilang turut melemahkan perempuan, bukan? Contohnya saja, masih banyak orang menganggap sosok pemimpin yang pantas itu laki-laki?

Karena ada stereotipe bahwa perempuan lebih emosional dan kurang tegas. Maka dibilang yang pantas menjadi sosok pemimpin adalah laki-laki. Padahal kenyataannya banyak perempuan yang tegas dan banyak laki-laki yang konyol.

Tampaknya peran media turut berperan dalam stereotipe itu, bukan? Contohnya saja, sinetron banyak memperlihatkan sikap perempuan yg cengeng, tertindas, dan cerewet.

Ya memang. Media sangat berpengaruh pada penguatan stereotipe itu. Media itu memperkuat stereotipe yang negatif terhadap perempuan. Padahal, kenyataannya banyak perempuan yang tegas dan tegar. Yang muda harusnya mendobrak itu semua.

Jadi, media itu harusnya mengubah stereotipe itu?

Ya, tapi bukan media saja. Perempuan juga harus sadar. Kenyataannya, banyak perempuan yang tak mau mengubah stereotipe itu. Sekarang yang muda seharusnya tidak begitu.

Walaupun sudah sering digaungkan di Indonesia, masih banyak orang yang mencibir, baik laki-laki dan perempuan tentang gerakan perjuangan kesetaraan gender ini?

Ya, karena stereotipe itu sangat mengakar. Dan lagi, orangtua masih menerapkan hal-hal seperti itu.

Jadi, sebagai orangtua harus bagaimana mendidik anaknya?

Orangtua harus mengajarkan hal yang sama pada anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan berarti laki-laki dan perempuan harus sama. Namun, mereka harus punya keberanian, ketegasan, dan akses yang sama. Seringkali di keluarga, bila harus memilih, laki-laki yang disekolahkan karena anggapan laki-laki yang harus mencari uang. Padahal, sekarang sudah banyak perempuan yang mencari uang karena ekonomi yang lemah. Sebenarnya membedakan cara tak apa, asal jangan perempuan dianggap lebih rendah.

Apakah sosialisasi mengenai pentingnya kesetaraan gender sudah sampai ke masyarakat menengah ke bawah?

Menteri pemberdayaan perempuan dulu pada awalnya sudah fokus pada perempuan di pedesaan. Tetapi kan seharusnya perempuan mana saja harus diberdayakan. Justru yang lebih ketat itu menengah ke atas. Untuk masyarakat bawah bisa kita lihat orang yang berjualan laki-laki dan perempuan sama, karena mereka tak punya banyak pilihan kan. Mereka justru tak begitu ketat.

Saat ini sudah banyak undang-undang yang melindungi perempuan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Pornografi, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010. Apakah undang-undang tersebut sudah efektif?

Belum. Seharusnya yang menegakkan itu bukan hanya menteri pemberdayaan perempuan. Seharusnya dari semua aspek pemerintah turut memberikan kesamaan pada perempuan dan laki-laki. Namun, memang sudah lebih baik daripada dulu. Esensinya kan mengubah nilai-nilai dan itu tidak mudah. Sekarang saya lihat sudah banyak kemajuan, contohnya saja menteri, direktur, wakil menteri, banyak yang diduduki oleh perempuan.

Tampaknya agama juga turut memengaruhi penilaian terhadap perempuan. Misalnya saja, poligami. Perempuan harus rela dimadu oleh suaminya. Padahal, dalam poligami itu perempuan seringkali menderita.

Rasanya masyarakat masih banyak yang salah menafsirkannya. Agama bilang kan boleh asal adil, sedangkan mereka kan tidak pernah bisa adil.

Bagaimana dengan nasib Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita yang seringkali mengalami penyiksaan di luar negeri?

Hal itu disebabkan oleh aturan perlindungan dari pemerintah yang tidak jelas. Kejadian di sana tak dapat dilepaskan dari bagaimana mereka diberangkatkan. Apalagi, TKW di sana kan di dalam rumah majikannya terus sehingga sulit dikontrol. Aturan di dalam negeri harus diatur sedemikian rupa, sehingga TKW mendapatkan perlindungan secara jelas.

Ada anggapan, secara fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki.

Kata banyak orang begitu. Tapi sebenarnya itu relatif. Sekarang saya beri contoh begini, laki-laki disuruh bermain tenis melawan Serena Williams, kira-kira siapa yang menang? Jangan mengikuti stereotipe yang konyol itu. Yang melahirkan itu hanya perempuan lho, dan itu diperlukan fisik yang kuat.

Undang-Undang Pengembangan Keluarga dan Populasi Nomor 52 Tahun 2009 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 mengizinkan pemberian layanan kesehatan hanya kepada pasangan yang telah menikah, serta pemasangan alat kontrasepsi yang harus meminta persetujuan suami. Sementara, bagi pasangan yang tidak menikah, tidak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Bukankah ini diskriminatif namanya?

Ya, sangat diskriminatif. Perempuan di segala tingkatan umurnya perlu pelayanan kesehatan yang khusus. Perempuan menikah atau tidak menikah harus mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Saat ingin melakukan pap smear, pasti ditanya nama suaminya siapa. Padahal, dari remaja harus sudah mendapat layanan itu. Begitu juga dengan kontrasepsi. Saat ini, banyak yang secara seksual aktif, mereka harusnya bisa jaga diri supaya tak kena penyakit kelamin. Semua itu adalah masalah kebutuhan, bukan masalah moral. Semua perempuan harus mendapatkan layanan sesuai dengan kebutuhannya.

Komnas Perempuan pada awalnya terbentuk karena adanya kejadian Tragedi Mei 1998. Tragedi Mei 1998 tersebut menyimpan banyak luka perempuan karena kasus pemerkosaan yang terjadi. Bagaimana kelanjutan akan kasus ini? Apakah pemerintah sudah mengakui?

Kasus pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998 masih tidak jelas sampai sekarang. Pemerintah tidak mau mengakui. Selain itu, kebanyakan korban pemerkosaan tak mau membicarakannya lagi. Namun, Komnas Perempuan masih berupaya untuk membuka kasus ini.

Kabarnya, yang menjadi korban kebanyakan adalah etnis Tionghoa?

Ya, sebagian besar, tetapi tidak semuanya.

Bagaimana dengan kasus jugun ianfu yang sampai sekarang juga tidak ditangani pemerintah?

Kasus jugun ianfu ini merupakan kasus internasional yang belum tertangani. Sebenarnya Jepang sudah mau memberikan kompensasi. Tetapi uangnya bukannya diberikan untuk korban, malah diberikan ke panti jompo. Pemerintah tak mengerti.

Harusnya itu masuk ke kurikulum sejarah Indonesia agar menjadi peringatan bagi kita semua, bukan?

Ya, tentunya.

Dulu Anda pernah masuk ke Komnas HAM, kemudian Anda keluar. Katanya karena perbedaan prinsip? Bisa diceritakan?

Ya, karena situasi Komnas HAM saat itu seperti terbelah, tak segigih sebelumnya dalam menguak kasus-kasus. Apalagi tentang kasus perempuan, tak dipedulikan.

Bagaimana Anda dididik dulu?

Saya dari keluarga Jawa yang tradisional. Memang dibedakan perempuan dan laki-laki, tetapi orangtua saya tidak membedakan pendidikan perempuan dan laki-laki. Saat saya menikah, suami saya pun membebaskan. Hal itu sangat individual. Saya sebagai perempuan memang dibedakan. Misalnya saja, zaman dulu saya seringkali tidak dibolehkan pergi naik sepeda. Sedangkan saudara laki-laki saya selalu diperbolehkan.

Tokoh feminis yg Anda idolakan?

Waktu muda, idola saya Marie Currie. Saya merasa dia perempuan yang hebat karena pekerja keras dalam mencapai keinginannya.

Ke depannya Anda yakin perjuangan kesetaraan gender ini akan terus berlanjut?

Oh, tentu. Tetapi dari pihak perempuannya sendiri juga harus mau dan berani memperjuangkannya.

Nyatanya, dari kalangan mahasiswa sendiri banyak yang tak peduli?

Ya, memang banyak yang tak peduli. Tapi banyak juga yang peduli. Memang masih banyak yang menikmati kebebasannya sendiri.


Sekilas mengenai narasumber:

Nama: Prof. Dr. Saparinah Sadli
Tempat, tanggal lahir: Tegalsari, Jawa Tengah, 24 Agustus 1927
Suami: Prof. Dr. Ir. Mohammad Sadli, MSc

Pendidikan:
• Europesche Lager School Purwokerto, 1933-1940
• Sekolah Menengah Pertama, Semarang dan Yogyakarta, 1942-1945
• Sekolah Asisten Apoteker, Yogyakarta, 1946-1948
• Sarjana Muda Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1953
• S1 Fakultas Psikologi Universitas indonesia, 1961
• S3 Fakultas Psikologi Universitas indonesia, 1976

Pekerjaan:
• Dosen-Dekan Fakultas Psikologi UI
• Ketua Pusat Kajian Perempuan UI 1990-2000
• Anggota dan Wakil Ketua Komnas HAM 1996-2000
• Ketua Komnas Perempuan 1998
• Kelompok Kerja Convention Watch
• Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 13-15 Mei 1998, 23 Juli-23 Oktober 1998




0 komentar:

Posting Komentar