RSS

Kamis, 13 Januari 2011

Pentingnya Wakil Rakyat Perempuan


Hj. Dewi Coryati, M.Si:

Undang-Undang Kesehatan Tidak Diskriminatif Terhadap Perempuan


Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini sangatlah minim, yaitu 18%. Jumlah ini sudah mengalami kenaikan dari periode sebelumnya, yaitu 11%. Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengharuskan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah affirmative action. Affirmative action sempat mengundang kontroversi. Apakah affirmative action sudah efektif atau hanya aturan belaka yang kemudian pelaksanaannya seperti dipaksakan?

Bagaimana peran perempuan di DPR dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan di Indonesia? Sejauh mana jumlah 18% ini mampu memberi dampak yang positif bagi kebijakan yang berkaitan dengan perempuan? Apa pendapat mereka mengenai affirmative action?

Permasalahan mengenai perempuan di Indonesia masih tinggi dan terksesan kurang penanganan. Permasalahan itu antara lain, kematian ibu yang masih tinggi (tertinggi di ASEAN), perempuan buta aksara yang mencapai sekitar 60%, perdagangan perempuan, dan masih banyak lagi. Berapa banyak anggaran yang dikeluarkan untuk pemberdayaan perempuan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Yohannie Linggasari, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran mewawancarai Dewi Coryati, anggota komisi VIII (agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan) DPR RI. Berikut ini petikan wawancara Yohannie Linggasari dengan Dewi Coryati, di Dewan Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, pada Kamis (23/12) sore:

Bisa diceritakan awal Anda terjun ke dunia politik?

Pertama-tama, saya mengantar ibu saya ke DPP PAN. Ibu saya adalah pengurus PAN. Saya kemudian tertarik untuk bergabung. Pada tahun 2000 saya masuk menjadi anggota DPP PAN. Setelah saya masuk ternyata banyak yang dapat saya lakukan. Dengan masuk partai politik menjadi punya kekuatan untuk melakukan perubahan. Misalnya saja memberi masukan terhadap kebijakan-kebijakan kepada anggota dewan.

Apakah Anda mendapat dukungan penuh dari keluarga?

Ya. Kalau tidak, pasti akan lebih sulit. Tentu akan lebih nyaman bila mendapat dukungan penuh dari suami, keluarga, dan anak. Apalagi, jadwal kerja saya padat sehingga membutuhkan banyak pengertian dan dukungan dari keluarga.

Sebelumnya apa pekerjaan Anda?

Sebelumnya saya bekerja sebagai dokter hewan. Pada tahun 2003 saya mau mencalonkan diri menjadi calon legislatif di daerah pilihan Bengkulu. Saya kemudian berhenti menjadi dokter hewan dan berkampanye dengan serius.

Anda sudah ikut pemilu berapa kali?

Sudah dua kali. Pada pemilu yang pertama saya banyak mendapat pelatihan. Waktu itu masih sistem nomor urut dan saya mendapat nomor dua. Saya tidak bisa maju padahal jumlah suara saya bagus. Dengan berbekal pelatihan-pelatihan yang saya ikuti, saya kemudian ikut pemilu yang kedua. Saya mendapat nomor dua lagi. Saya mengerahkan ilmu, strategi, biaya, dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Saya mendapat suara terbanyak. Namun, suara itu hilang. Saya kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Perjuangan dan saya berhasil.

Tampaknya sebuah perjuangan yang sulit untuk menjadi anggota DPR?

Ya. Tidak mudah untuk mendapat kursi, apalagi perempuan. Hal itu karena perempuan lebih sulit di bidang finansial dibandingkan laki-laki. Banyak uang yang dikerahkan bila ingin kampanye.

Ada anggapan perempuan di partai politik hanya sebagai pelengkap saja untuk memenuhi kuota 30%.

Affirmative action ini kan tindakan sementara. Mengapa ada tindakan sementara? Hal ini karena perempuan tak mungkin dibiarkan bertarung bebas. Mengapa? Startingnya saja sudah beda. Laki-laki sudah sangat terbiasa dengan dunia politik. Perempuan merasa kesulitan untuk masuk ke bidang ini. Oleh karena itu ada affirmative action. Kuota 30% bukan angka yang asal comot. Angka 30% ini sudah melalui penelitian di mana dengan 30% dalam komunitas maka suara akan terdengar. Sudah dihitung secara ilmiah.

Rasanya profesi sebagai anggota DPR ini banyak diminati selebritis.

Tidak masalah. Saya dengan selebritis sama. Kebetulan selebritis sudah banyak dikenal orang. Politik itu kan yang paling penting pertama-tama adalah awareness. Lagipula saya lihat teman-teman artis yang masuk PAN dan menjadi anggota DPR bagus kinerjanya.

Anda tak merasa tersaingi?

Tidak perlu. PAN sudah membuktikan bahwa dari sekian banyak selebritis hanya sedikit yang terjaring.

Banyak kasus suap ya saat pemilu?

Mungkin saja. Namun, harus dibedakan antara money politic dengan cost politic.

Ada stereotipe yang pantas jadi pemimpin itu laki-laki.

Pemimpin itu ditentukan oleh kualitas, kebijaksanaan, dan juga kepintarannya. Bisa juga perempuan menjadi pemimpin. Jangan lupa dulu para pemimpin banyak yang perempuan. Contohnya saja, Cut Nyak Din dari Aceh. Perempuan itu cenderung lebih sabar dan lebih fokus. Namun, itu kembali lagi ke karakter individunya.

Arti kesetaraan gender bagi Anda?

Semua orang, baik perempuan ataupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Gender itu bukan hanya menyangkut perempuan. Oleh karena itu, harus diperjuangkan kedua belah pihak. Bila ada laki-laki yang merasa tertindas, harus diperjuangkan juga.

Apakah dengan adanya 18% perempuan di DPR membawa perubahan?

Tentu. Ada kebijakan mengenai perempuan yang bisa diwakilkan laki-laki. Akan tetapi, ada kebijakan yang hanya dapat dibuat oleh perempuan. Contohnya saja tentang melahirkan. Tentu hanya perempuan yang memahaminya. Dalam segala kebijakan yang dibuat, perempuan akan selalu teringat pada anaknya yang perempuan. Seorang perempuan pastinya akan lebih mengerti kebutuhan perempuan.

Anda siap untuk terus memperjuangkan kepentingan perempuan?

Ya, tentu. Untuk itulah saya ada.

Apakah anggota DPR perempuan semuanya sudah memenuhi standar sebagai wakil rakyat?

Saya tak bisa menilai teman saya. Saya lihat banyak perempuan yang pintar di DPR. Di media itu bad news is good news, bukan? Banyak pekerjaan kita yang baik tidak diliput sedangkan yang buruk langsung diberitakan. Misalnya saja tidur saat rapat langsung menjadi pemberitaan di media.

Menurut Anda tidur saat rapat itu sah-sah saja?

Itu hal yang manusiawi. Sering kali rapat sampai berjam-jam dan sampai malam. Lebih baik tidur daripada tidak datang, bukan? Tidur itu kan hanya beberapa menit. Setelah tertidur kan bangun lagi dan fokus lagi.

Sebanyak 70% penyandang buta aksara di Indonesia adalah perempuan. Padahal menurut penelitian Program for International Student Accessment (PISA) 2009, perempuan memiliki kemampuan membaca lebih baik daripada laki-laki. Bukankah ini menyedihkan?

Ya. Ini kembali lagi ke masalah budaya. Di Indonesia ini budaya patriarkinya masih sangat kuat. Kalau ada dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki dalam sebuah keluarga, pasti yang disekolahkan anak laki-laki. Selain itu, masih banyak golongan miskin di Indonesia, di mana banyak perempuan di dalamnya, sehingga jumlah penyandang buta aksara ini masih cukup tinggi.

Sudahkah ada program-program untuk memberdayakan perempuan-perempuan yang buta aksara ini?

Sudah. Misalnya saja dari bidang ekonomi dengan pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk perempuan-perempuan. Bila ekonomi sudah ditingkatkan, tentunya ibu-ibu tersebut akan mempunyai uang untuk menyekolahkan anaknya yang perempuan. Lagipula sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, sering kali orangtuanya tak mau menyekolahkan dan menyuruh anak perempuannya bekerja. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menetapkan 20% untuk pendidikan. Sebenarnya mereka bisa sekolah, tetapi orangtuanya keberatan.

Undang-Undang Pengembangan Keluarga dan Populasi Nomor 52 tahun 2009 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 memberi izin pemberian layanan kesehatan hanya pada pasangan yang menikah serta pemasangan alat kontrasepsi yang harus meminta persetujuan suami. Yang tidak menikah tidak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Bukankah ini diskriminatif?

Tidak. Negara kita kan negara beragama. Kita juga menganut Pancasila dan sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Ada enam agama yang diakui. Norma-norma hukum (menikah) harus dijalankan. Kita tak boleh melegalkan hal yang dilarang oleh agama.

Jadi ini menyangkut masalah moral?

Ya.

Bukankah sekarang bukan lagi masalah moral yang dipersoalkan? Nyatanya, sekarang banyak yang sudah melakukan seks bebas. Bila ada penanganan dari pemerintah berupa layanan kesehatan reproduksi, dapat mencegah penyakit seksual menular.

Permasalahannya adalah dana terbatas. Harus memprioritaskan yang menikah dulu. Yang menikah saja belum terurus semua. Justru kita harus menyadarkan yang tak mau menikah untuk menikah. Biar statusnya jelas. Tuhan juga mengamanatkan untuk berkeluarga. Apabila tidak menikah, yang dirugikan perempuan. Tidak dapat harta gono gini dan apabila ada anak tidak ada akta kelahiran.

Perdagangan perempuan merupakan masalah yang kompleks. Banyak yang tertipu atau memang terpaksa menjual diri karena faktor ekonomi. Harus mulai dari mana pemberantasan perdagangan perempuan ini?

Masalah ini layaknya benang kusut. Saya rasa harus mulai dari masalah ekonomi. Negara seharusnya memberi lapangan pekerjaan yang memadai. Dengan menumbuhkan ekonomi keluarga maka pendidikan keluarga pun akan terbangun.

Sasaran Millenium Development Goals (MDGs) untuk angka kematian ibu (AKI) adalah 103 per 100.000 kelahiran. Sedangkan data terakhir menunjukkan angka kematian ibu di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Mengapa masih jauh dari target?

Alasan yang pertama adalah masalah gizi yang buruk. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pendidikan kesehatan, pendidikan pranikah, dan pendidikan melahirkan. Sarananya pun masih kurang. Namun, pengurangan AKI ini ditangani serius oleh pemerintah. Sekarang sudah tersedia bidan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang sudah menjangkau desa-desa.

Saat ini sudah banyak undang-undang yang melindungi perempuan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Pornografi, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010. Apakah undang-undang tersebut sudah efektif?

Belum. Sosialisasinya masih kurang. Masih banyak perempuan yang tak tahu akan undang-undang tersebut. Perempuan yang menjadi korban kekerasan juga masih banyak yang memilih untuk bungkam. Aparat penegak hukum pun masih kurang paham dalam menyikapi kasus-kasus.

Sempat muncul di berita bahwa Batam sudah menetapkan pajak untuk prostitusi. Isu kemudian berkembang menjadi bagaimana bila prostitusi dilegalkan di Indonesia karena dapat menambah pajak untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Bagaimana Anda memandang isu ini?

Pajak itu kan untuk kesejahteraan rakyat. Kalau dalam agama Islam hal untuk kebaikan harus dari hal yang baik. Tidak boleh bertentangan dengan agama. Prostitusi kan tidak halal. Ya tidak boleh dong. Hal ini kembali lagi ke moral.

Apa pendapat Anda tentang tes keperawanan?

Menurut saya itu berlebihan. Kalau memang setelah dites lalu tidak perawan, apa efeknya? Itu kan hanya mempermalukan orang saja dan tidak membuat menjadi lebih baik.

Banyak Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita yang nasibnya terkatung-katung di bawah jembatan di Jeddah, Arab. Apakah sudah ada penanganan dari pemerintah untuk TKW yang terlantar di Arab?

Menurut sebuah sumber, mereka sudah ditangani. Namun permasalahannya, pekerja itu banyak yang ilegal. Banyak yang keadaannya tak diketahui. Bahkan, katanya di sana ada sindikat di mana pekerja-pekerja itu dipindah-pindahkan sehingga tidak terlacak lagi. Kalau dari agen resmi, ya lancar-lancar saja penanganannya.

Ada anggapan bahwa pemerintah tak serius dan tak tegas menangani TKW.

Sebenarnya masalah TKW ini sudah diatur dalam Undang-Undang Tenaga Kerja. Namun, memang permasalahan TKW ini sulit diatasi karena banyak TKW yang tidak mempunyai keterampilan yang baik. Pengawalannya saja sudah tidak maksimal.

Berapa jumlah anggaran untuk pemberdayan perempuan?

Sangat kecil sekitar 180 miliar. Menurut penelitian, penyerapannya memang kurang bagus. Dalam rapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, kita akan mendukung dan mendorong peningkatan anggaran pemberdayaan perempuan. Namun, kenaikan anggaran tersebut tergantung dari kementeriannya juga.

Apakah semua kebijakan di tiap bidang sudah mementingkan perempuan?

Biasanya kalau ada kebijakan yang menyentuh perempuan, perempuan di komisi itu akan mendorong untuk hal yang positif bagi perempuan. Contohnya saja, di komisi VIII, pendidikan Islam tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Itu yang kita dorong. Oleh karena itu, jumlah perempuan di DPR harus ditingkatkan karena kuantitas juga penting.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan penelitian dan mencatat bahwa dalam peristiwa Tragedi Mei 1998 telah terjadi banyak pemerkosaan dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Namun, katanya pemerintah tak mau mengakui.

Pemerintah juga pasti menyelidiki apakah hal tersebut benar. Saya tak tahu sejauh mana. Namun, bila pembuktiannya kuat pasti bisa ditangani. Hal ini butuh dorongan politik. Bila Komnas Perempuan memang mempunyai bukti-bukti yang kuat tetapi tetap tak terdengar, maka ia butuh bantuan orang lain. Misalnya saja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya. Mungkin juga bisa dimasukkan ke pengadilan dan diselesaikan dengan jalur hukum.

Anak terlantar di Indonesia mencapai 5,4 juta. Katanya anak terlantar dilindungi negara? Namun kenyataannya masih banyak anak terlantar di jalanan yang tak tertangani.

Dinas sosial sudah membuat fasilitas untuk mereka, tetapi tak tertampung semua. Anak jalanan dan terlantar setiap hari diberi sekolah formal dan diberi kegiatan ekstra kurikuler seperti bela diri dan menari. Kalau yang lanjut, diharapkan saat dilepas sudah bisa mandiri. Akan tetapi, ada yang sudah tertampung kemudian kabur. Mereka tidak betah karena sudah terbiasa di jalan.

Beralih ke masalah haji, sebanyak 273 jemaah haji meninggal di Mekah.

Pemerintah sudah melakukan persiapan dengan baik. Jemaah haji yang akan berangkat sudah dicek kesehatannya dan diobati terus. Kebanyakan menderita darah tinggi. Selain itu, banyak jemaah haji yang sudah tua. Bila penyakitnya tak dapat ditoleransi, maka tak diizinkan berangkat. Akan tetapi, di sana tentu sulit mengontrol kesehatan mereka. Cuaca yang buruk, fisik yang tua, kemudian banyak makan daging kambing membuat kesehatannya memburuk sampai meninggal. Angka 273 itu sudah sangat sedikit. Jumlahnya sudah turun drastis.

Sebentar lagi hari raya Natal. Gereja-gereja banyak dilindungi oleh polisi karena khawatir dibom. Tampaknya belum tercipta kerukunan beragama di Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika?

Kasus pengeboman gereja hanya kasus kecil saja. Secara umum kan baik-baik saja. Tidak benar bila disebut belum tercipta kerukunan umat beragama di Indonesia.

Bagaimana dengan kerusuhan besar seperti kerusuhan di Poso yang merupakan konflik agama?

Banyak tesis yang meneliti kerusuhan tersebut dan hasilnya menyebutkan kerusuhan tersebut bukan karena agama. Mungkin ada yang provokatif.

Bila bicara mengenai peraturan daerah (perda) di Indonesia, ditemukan banyak perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Contohnya saja, Perda Nomor 5 Tahun 2003 di Aceh yang mengharuskan perempuan berjilbab. Kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran di Tangerang yang praktiknya merugikan perempuan yang tak bersalah. Sementara itu, setidaknya ada dua kota di Indonesia yaitu Makassar dan Padang yang mengharuskan perempuan berbusana muslim.

Saya setuju dengan Perda Nomor 8 Tahun 2005 di Tangerang, tetapi dalam praktiknya harus ada bukti yang jelas bila yang ditangkap itu memang pelacur. Jangan sampai bila ada perempuan yang menggunakan rok mini saja ditangkap dan dituduh pelacur. Aparat penegak hukumnya juga harus benar-benar mengerti perda tersebut. Untuk Perda Nomor 5 Tahun 2003 di Aceh itu disebabkan karena di Aceh itu menjalankan syariat Islam. Di sana kan kebanyakan orang Islam. Ya tentunya harus memakai jilbab. Untuk permasalahan yang di Makassar dan Padang itu dalam pembentukan perda kan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), di sana pastinya ada anggota DPRD yang bukan muslim. Seharusnya saat perda itu dibuat, mereka mengajukan keberatan. Kalau sudah disahkan baru protes, berarti anggota DPRD yang bukan muslim itu yang kurang tanggap.

Anda setuju bila Indonesia dijadikan negara Islam?

Tidak. Islam tidak untuk menjadi negara. Negara itu kebijakannya memang harus berdasarkan moral dan agama. Agama dan negara tidak bisa dipisahkan, tetapi agama juga tidak dijadikan landasan. Agama itu dijadikan nilai. Agama kan mengajarkan kebaikan.

Benar tidak pernah terjadi perpecahan internal di PAN?

Tidak. Itu hanya konflik biasa saja.


Sekilas mengenai narasumber:

Nama: Hj. Dewi Coryati MSi.

Tempat, tanggal lahir: 9 Agustus 1964

Riwayat pendidikan:

S1 Kesehatan Hewan IPB (lulus 1988)

S2 Ilmu Politik UI (lulus 2003)

S3 Ilmu Politik UI (sedang menjalani)

Riwayat pekerjaan:

Dokter hewan (1989-2003)

Konsultan pendidikan (2003-2008)

Anggota DPR RI Komisi VIII - bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan (2009-2014)

Wakil Sekretaris Fraksi PAN

0 komentar:

Posting Komentar