RSS

Rabu, 16 November 2011

5,4,3,2,1 Hari Lagi

Heyyaaa, saya nggak ngerti kenapa tiba-tiba saya mulai nulis cerpen lagi. Terakhir itu waktu SD. Hehehe. Dan setelah saya baca-baca uwoooww kok bisa-bisanya saya bikin cerpen super melankolis begini?

Entahlah. Mia dan Carel tiba-tiba datang dan minta untuk dimuntahkan.

sumber: good-for-nothin.blogspot.com

10 November 2011

“Lepasin Mia! Lepasin! Lepasiiiiin!!!!” Tubuhku tegang, berkeringat, jantungku berdebar dengan sangat kencang. Saking kencangnya, seperti ingin meloncat ke luar. Napasku memburu. Mataku membuka dengan tiba-tiba. Kulihat langit-langit kamarku. Oh, ternyata cuma mimpi. Sering sekali aku mimpi buruk, sejak dua tahun lalu. Itulah sebabnya aku sungguh benci tidur. Alasan lainnya, karena aku tidak pernah memimpikan Carel, satu kali pun! Padahal, itu satu-satunya alasan aku tidur. Mungkin pikirmu aku berlebihan. Tapi, memang begitulah aku. Tidak banyak yang bisa mengerti diriku. Rasanya hanya Carel seorang yang bisa. Bahkan, papa dan mama pun tidak bisa mengerti aku. Mereka pekerja keras yang melupakan anaknya. Mereka sudah bercerai sejak aku masih 9 tahun. Mungkin karena itu juga, aku jadi membenci meerka dan sampai sekarang tidak pernah merasa dekat dengan mereka.

Carel adalah pacarku. Ia sungguh baik. Bagiku, ia sempurna. Oh, tidak, ia tidak sempurna. Ia terlalu tinggi! Aku sungguh malu berjalan di sampingnya yang setinggi 170cm itu. Aku yang memiliki tinggi hanya 160cm merasa kebanting sekali. Paling sedih bila ada yang mengira kami ini kakak adik. Oh teganya. Sudah hampir 2 tahun aku tak berjumpa dengan Carel. Tapi, 5 hari lagi, aku akan berjumpa dengannya. Kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 23.35. Aku menutup mataku. Cukup lelah badan ini, aku butuh tidur.

11 November 2011

Cahaya matahari yang menembus jendela membangunkan aku di 11 November ini. Ah, masih pukul 6, tetapi aku memang tak mau tidur lagi. Aku segera bangun dan duduk di depan meja riasku. Kusisir rambutku yang panjang lurus ini. Aku suka sekali rambut hitamku ini. Carel juga suka. Dia bilang aku seperti model shampoo. Dia memang suka sekali memuji. Entah apa benar-benar datang dari hatinya atau ia hanya menggombal? Semoga Carel tidak pernah membohongiku. Kulihat sekilas foto-foto yang menempel di dinding-dinding kamarku. Kenanganku bersama Carel. Betapa kumerindukan saat-saat itu. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Argh, aku benci bila ia sudah bertingkah seperti ini. Ia memang punya kunci duplikat kamarku, tetapi kenapa masuk seenaknya?

“Pagi, sayang. Sudah bangun toh. Makan yuk? Mama udah bikinin sup tomat kesukaanmu,”

“Nggak. Mia nggak nafsu.”

“Tapi kamu tetep harus makan. Yuk?”

Mama menghampiriku dan menggandeng tanganku. Aku sudah lelah menolaknya. Aku hanya mengikutinya dan kemudian makan dengan terpaksa. Aku tidak ingat sejak kapan aku tidak suka sup tomat. Padahal, dari dulu aku selalu menyukainya.

“Hari ini aku boleh pergi?”

“Boleh, selama ditemenin Pak Lutfi.”

“Lebih baik nggak usah aja kalo gitu.”

Mama diam saja. Jahat.

4 hari lagi.

12 November 2011

Sore ini aku mengisi waktu dengan merangkai bunga. Ini memang hobiku. Aku jadi ingat dulu Carel senang sekali melihatku merangkai bunga. Ia bilang aku seperti istri idaman. Lagi-lagi, aku tidak tahu apakah ia gombal atau tidak. Carel dan aku berpacaran sejak 9 Maret 2007. Ia pacar yang baik sekaligus satu-satunya sahabat yang aku miliki. Dan, ia pun guru pianoku. Saat itu aku masih 16 tahun dan Carel 20 tahun. Aku sudah suka padanya dari pandangan pertama. Ah, pipiku langsung memerah.

Terdengar suara mobil di luar. Ternyata papa. Dasar, papa dan mama menjadi begitu baik sekarang. Begitu perhatian. Mama sampai pindah ke mari tinggal bersamaku di rumah nenek. Ya, dari kecil aku tinggal dengan nenek. Papa dan mama punya hidupnya sendiri. Nenek sudah meninggal sejak setahun lalu. Aku sangat sedih saat itu. Mengapa semua orang meninggalkanku?

Papa meletakkan brosur-brosur universitas di meja tempat aku merangkai bunga.

“Mia, papa tadi baru aja ketemu sama agen pendidikan luar negeri. Ini brosur-brosurnya. Coba kamu lihat-lihat dulu.”

Nggak usah repot-repot. Aku nggak niat kuliah lagi.”

“Sampai kapan mau begini terus, Nak?”

“Sampai aku ketemu Carel.”

“Hentikan omong kosong ini. Kamu tau sendiri Carel...”

“Cukuuuuuuup!”

Aku berlari ke kamar. Air mata sudah tak terbendung lagi. Aku menangis sejadinya. Papa memang tak pernah menyukai Carel. Menurutnya, Carel tidak punya masa depan. Papa pernah memergoki Carel berjalan dengan gadis lain. Sebenarnya itu adalah adiknya. Papa salah paham. Carel tidak pernah sekalipun meninggalkan aku. Aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.

“Kamu harus ngawasin Mia! Bagaimana kalau kejadian dulu terulang?”

“Aku yang jagain Mia terus. Kamu tau apa? HAH???”

Lagi. Papa dan mama bertengkar. Mereka memang tidak suka kalau aku sampai bertemu Carel.

13 November 2011

Ya Tuhan, aku sangat sangat kangen sama Carel. Aku lalu mengambil sebuah buku tebal bercover kulit. Kubuka perlahan. Semuanya tentang diriku. Banyak sekali fotoku di dalamnya. Banyak juga foto bersama Carel. Ini adalah buku Carel. Ia membuat semua ini untukku. Aku dapatkan buku ini dari adiknya.

Kubuka lagi halaman lainnya. Ah, ada sebuah tempelan sticky notes.

Thanks Carel udah nemenin hidupku selama ini. Aku seneng banget bisa punya kamu. Kamu tau tadi aku berdoa apa sebelum meniup lilin? Aku bilang sama Tuhan, aku ingin menikah dengan kamu di umurku yang ke-20 tahun. Hehehe, yep its just a wish!”

Aku jadi ingat hari itu. Ulang tahunku yang ke-16. Aku merayakannya hanya berdua dengan Carel. Bahagia sekali. Saat pulang, ia mengantarku dengan mobil tua papanya. Diam-diam, kutempelkan sticky notes itu.

Kubaca kalimat di bawah sticky notes yang ditempel Carel.

“Mia, mungkin saat itu aku nggak akan nikahin kamu. Tapi, aku akan melamar kamu di tempat kita kencan pertama kali. Sambil melihat sunrise. Nah, kamu suka yang romantis-romantis kan? Hahaha.”

2 hari lagi, Carelku.

14 November 2011

“Ma, aku mohon, kali ini aja, ijinin aku pergi sendiri. Mama tau kan, besok aku ulang tahun? Aku mau ke salon dan belanja.”

Mama terlihat menimbang-nimbang. Agak lama. Kemudian....

“Oke, tapi kamu tetep dianter Pak Lutfi ya?”

Aku mengangguk kesenangan. Segera aku menyabet tas jinjingku yang bermotif bunga.

“Mia,” mama memanggil, “Jangan lupa nanti minum obatmu, ya.” Aku hanya mengangguk.

Aku pulang ke rumah dengan hati puas. Rambutku sudah wangi karena telah di-creambath. Aku juga sudah belanja banyak tadi. Aku rasa terusan putih nan simpel akan jadi menarik sekali. Soalnya, Carel suka sekali warna putih. Kemudian, aku juga telah membeli eau de toilette Body Shop beraroma mawar. Besok akan jadi hari yang sangat spesial karena aku akan bertemu dengan Carel.

Sekarang, tinggal bagaimana caranya aku keluar dari rumah ini esok pagi sebelum matahari terbit tanpa sepengetahuan mama. Kubuka tas jinjingku, kukeluarkan beberapa kunci. Tadi siang, aku telah membuat duplikat kunci-kunci rumahku. Oh, hatiku campur aduk antara takut dan tak sabar. Cepatlah esok karena aku akan bertemu dengan pujangga hatiku.

15 November 2011

Jam dinding masih menunjukkan pukul 5. Namun, aku sudah rapi dan duduk di depan meja riasku. Kusisir rambutku yang panjangnya sepinggang. Wajahku sudah cantik dipoles dengan bedak. Sekujur tubuh pun sudah wangi mawar. Aku lalu memakai sepatu flat putihku. Wah, cocok sekali dengan gaunku ini. Segera, aku menyabet pula tas kecilku yang juga berwarna putih.

Dengan sangat perlahan, aku berjingkat dari kamarku keluar. Rumah masih sepi. Mama biasanya baru bangun pukul 6. Aku tengok dapurku. Ada lilin angka 2 dan 0 di atas meja dapur. Mama sudah menyiapkannya untukku. Ah, aku tak peduli. Ruang tamu sudah terlewati. Segera aku membuka pintu utama. Semoga saja Pak Lutfi tak mendengar jingkat kakiku ini. Aku sudah seperti maling saja. Pekarangan rumah sudah terlewati, sekarang aku tepat berada di depan pagar rumah. Aku buka gemboknya pelan-pelan. Fiuh, semua berjalan dengan lancar. Untung saja, rumahku berada di pinggir jalan raya. Aku memberhentikan taxi.

“Pak, ke jembatan layang di dekat Plaza Semanggi itu, ya!”

Si supir hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian aku sampai. Ah, masih belum terlambat untuk matahari terbit. Aku segera naik ke atas jembatan layang. Aku masih ingat hari itu. Aku dan Carel kebingungan harus kencan ke mana. Akhirnya, kami malah ke jembatan layang ini. Memandang mobil-mobil yang menderu di bawah, orang-orang yang wara-wiri, pedagang yang mencari nafkah, serta bangunan-bangunan pencakar langit. Kami berdua sangat nyaman menghabiskan waktu di sini. Mengobrol dan tertawa.

Kulihat ke bawah, mobil menderu dengan cepat. Angin berembus menerpa pipiku. Dingin. Namun aku keringatan. Aku terlalu takut. Aku harap-harap cemas. Akankah aku bertemu Carel? Di tempat kita pertama kali kencan ini? Hari ini, sesuai janjinya? Aku menengok kiri kananku, tak ada orang. Tak ada tanda-tanda orang akan datang pula. Carel, aku kangen sekali. Aku ingin bertemu. Please, temui aku. Napasku mulai kacau, tanganku gemetaran. Segera aku memegang erat palang besi jembatan layang ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Kakiku mulai merayap ke palang-palang besi jembatan ini. Kupejamkan mataku. Semuanya akan berlalu dengan sangat cepat. Carel, aku datang.

Headline koran sore itu:

Seorang gadis loncat bunuh diri dari jembatan layang Semanggi pada Selasa (15/11) pagi ini. Terdapat foto korban bersama seorang laki-laki dalam genggaman tangannya. Menurut Lani, orangtua korban, anaknya tersebut menderita depresi berat semenjak ditinggal tewas oleh kekasihnya. Kekasihnya tewas ditikam perampok di jembatan layang Semanggi dua tahun lalu..................

Bila kudapatkan engkau dalam gelap,

Maka kan kukejar gulita

Bila kudapatkan engkau dalam cahaya,

Maka kan kukejar bintang-bintang

Bila kudapatkan engkau dalam maut,

Maka kan kukejar kematian

Supaya engkau tak lagi ragu,

Bahwa kucinta kau lebih dari hidup ini

(Yohannie Linggasari)

Rabu, 09 November 2011

Senarai Harapan


Berharap itu tidak enak
dan berisiko

Risiko bisa sakit hati
Kecewa
Sedih
Bete
Bahkan, mati rasa

Aku benci sekali berharap

Tapi toh tetap jua
Kubuat senarai harapan
Semalam

-Yohannie Linggasari-

PS: Manusia-manusia itu bilang benci sekali berharap. Namun, diam-diam melakukannya. Siapakah yang bisa untuk tidak berharap??

Senin, 31 Oktober 2011

I Am Afraid

Source: juliehibbard.blogspot.com


You say that you love rain,

but you open your umbrella when it rains..

You say that you love the sun,
but you find a shadow spot when the sun shines,

You say that you love the wind,
But you close the windows when wind blows,

This is why I am afraid,
You say that you love me too...


-William Shakespeare-

Rabu, 26 Oktober 2011

Ah, Kamu Ini... Pura-pura Saja!

Source: siscanatalia.tumblr.com


Dulu waktu saya kecil, saya pengeeeeen banget bisa memberi banyak uang kepada pengemis. Kalau ketemu pengemis, saya selalu minta uang ke orangtua untuk memberikannya kepada mereka. Wah, dulu mah saya berhati malaikat banget... Seiring dengan bertambahnya usia, saya jadi makin apatis (bila bisa disebut demikian). Saya makin nggak yakin dengan apa yang saya lihat. Apa betul, mereka ini pengemis? Jangan-jangan, pura-pura aja kali! Saya beranggapan, pengemis zaman sekarang itu nipu doang. Pura-pura. Palsu!

Belakangan ini, saya menemukan beberapa fakta yang memperkuat asumsi saya. Kira-kira seminggu yang lalu, seperti biasa, kalau nggak kesiangan, saya jalan kaki dari kosan ke kampus tercinta. Nah, di area gerbang Unpad emang banyak banget pengemis. Wuiiih, berjajar deh pokoknya! Tambah lama tambah banyak. Saya jarang banget ngasih uang ke pengemis-pengemis itu. Bukan karena pelit, tetapi karena hal yang saya bilang tadi (bukan alibi yah).

Ketika saya berjalan, saya melihatt di depan saya ada seorang pengemis perempuan yang berpakaian lusuh (ya iya lah yaaa, namanya juga ngemis). Umurnya sekitar 40 tahun (menurut pandangan subjektif saya). Ia sedang menunduk. Saya perhatikan, sedang apa sih dia? Ternyata oh ternyata..... Dia sedang menghitung uang hasil ngemisnya. Saya lihat, itu segepok uang seribuan! Lembaran seribuan itu sudah tertata rapi. Saya lihat, minimal ada Rp100.000. Itu masih siang lho... Coba bayangin, kalau dia ngemis sampai sore, berapa yang bisa ia dapatkan? Kalau ia ngemis seminggu, berapa? Eeeebuseeedd, masih lebih kaya dia daripada saya.

Beberapa hari berikutnya, saya menemukan kejanggalan lagi. Saya baru saja pulang dari kampus. Lagi-lagi melewati gerbang Unpad yang sangat ramai dengan mahasiswa yang lalu lalang. Ada pengemis yang sedang duduk tepat di seberang saya ketika saya melengos keluar dari Unpad. Pengemis ini perempuan, tetapi berbeda dengan pengemis yang sebelumnya saya ceritakan. Ada tukang es potong di dekatnya. Tiba-tiba, tukang es potong itu memberikan selembar Rp50.000 kepada pengemis itu. Entahlah, ada affair apa mereka. Hahaha. Ya, aneh aja. Aneh kan ya?

Bukan hanya pengemis yang banyak di Jatinangor, pengamen pun tak kalah menjamur. Pengamen-pengamen ini rajin banget "bertandang" ke tempat-tempat makan di Jatinangor. Sampai-sampai, saya hapal lho wajah mereka, dari yang emang bisa nyanyi, sampai yang cuman bisa berlagak autis dengan bau lem aibon di bajunya. Suatu hari, saya tak sengaja bertemu seorang pengamen di sebuah toko kelontong. Pengamen ini membeli beberapa batang rokok. Wuidiiih, makin ilfeel lah saya. Udah cape-cape ngamen malah dipake beli rokok. Waduh, tambah apatis aja saya jadinya. Saya ogah juga, kalau udah ngasih duit, ehhh duit emak bapak saya dipake buat beli rokok. Mboookk yaaa, buat beli makan...... Lebih ikhlas saya.

Oya, saya juga punya pengalaman tak mengenakkan dengan pengamen. Waktu itu, saya masih SMA (masih lucu-lucunya gitu lho). Saya dan tante saya sedang makan di Seafood tenda di dekat rumah saya. Lagi asyik-asyik makan dengan tangan, ehh ada pengamen nyamperin. Saya dan tante saya nggak menggubris karena kami sedang makan (sampai lupa daratan). Kira-kira baru dua menit pengamen itu menyanyi, ia malah mengamuk. Ia memukul meja kami, dan berteriak "KALAU NGGAK MAU NGASIH, BILANG DONG!!"

What theeeee.................. Saya sama tante saya cuman bisa bengong sambil tatap-tatapan. Dasar pengamen labil -_______-"""

Jadi, apatislah pada saat yang tepat.


My Fav Emo Quotes. Ever!

Tragedi Muara Bangke #fiksimini


Jeritan manusia-manusia tak berdosa itu mendadak hening,
digantikan dengan banjir cairan merah nan amis

Alam pun menangis
Mungkin, para arwah itu meratap

"Apa salahku? Mengapa kalian menghabisi kami?
Salahkah bila kuterlahir seperti ini?
Kenapa tidak kau salahkan saja Tuhanmu itu?"

Kubangan jasad itu menimbulkan prasangka yang kekal di kemudian hari,
tanpa balas dendam
Banyak yang memilih amnesia,
tapi toh tetap tertulis dalam lembaran sejarah

Ya, sebuah tragedi di Muara Bangke

Rabu, 05 Oktober 2011

Musim Lebaran, Musimnya Ngemis


*Hasil tugas penulisan berita khas (feature) yang pertama. Masih amburadul dan berasa sampah banget ckckck.


Hari itu Teti tidak mengamen. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia lebih memilih untuk mengemis di hari yang penuh berkah itu. Teti tidak datang sendiri. Ia membawa serta seorang anak laki-lakinya yang masih kecil.

Selasa (30/8) pagi itu, sekitar 25 orang dengan pakaian lusuh sudah siap menjalankan aksinya. Teti salah satunya. Setidaknya, setengah dari jumlah tersebut adalah anak di bawah umur. Mereka setia menunggu di depan gerbang Masjid Al-Muhajirien Jaka Permai Bekasi. Sesekali, saling mengobrol dengan teman seperjuangannya. Incarannya sebentar lagi keluar.

Di dalam masjid, umat Muslim sedang khusyuk menjalankan Shalat Ied. Terdapat sekitar 2500 umat memenuhi masjid. Laki-laki maupun perempuan di tempat yang terpisah terlihat sungguh-sungguh menempelkan dahinya di permukaan sajadah yang berwarna-warni. Sementara itu, di luar masjid, Teti dan yang lainnya terus menunggu.

Teti hanya mengemis di saat Hari Raya Idul Fitri. Ini bukan kali pertama ia mengemis saat Shalat Ied. Tahun-tahun sebelumnya pun ia selalu menjelma menjadi pengemis saat Shalat Ied. “Yang penting halal, kan? Dibanding nyolong,” ujar Teti.

Teti memiliki tiga orang anak. Suaminya sudah meninggal. Ia mengemis untuk menambah uang sekolah anak-anaknya. Orangtuanya pun sudah meninggal. Hidupnya hanya ditemani oleh anak-anaknya.

Teti, yang tampak berumur sekitar 40 tahun menggendong anak laki-lakinya yang baru akan masuk Sekolah Dasar tahun depan. Hari itu Teti memakai daster coklat bermotif batik. Rambutnya yang menutupi leher digerai begitu saja. Meski mengemis, tubuhnya berisi, bukan kurus kering.

Tak berapa lama, ia melepas gendongannya. Mungkin ia lelah, mungkin juga ia kesal karena anaknya tak bisa diam. Anak Teti bertubuh kurus, kulitnya coklat, dan berambut pirang terbakar matahari. Ia tampak seperti bocah laki-laki lainnya yang suka bermain. Hanya saja, aktivitasnya hari ini tidak sama dengan bocah pada umumnya.

Tiba-tiba, para pengemis bangkit berdiri dan mengeluarkan gelas plastik bekas kemasan air mineral. Shalat Ied sudah usai, umat Muslim melaju keluar. Teti segera menggendong anaknya serta tak lupa mengeluarkan gelas plastik. Ia melesat masuk melewati gerbang masjid, mencoba bersaing dengan pengemis-pengemis lainnya.

Usahanya tak sia-sia. Beberapa umat memberikan lembaran uang yang sangat berharga di matanya. Kadang seribu, kadang lima ribu. Berapa pun banyaknya uang yang ia dapatkan, ia segera memasukkannya ke dalam saku bajunya. Tak heran, gelas plastik di tangannya selalu terlihat kosong.

Sesekali, ia harus mengejar umat yang duduk di motor. Usahanya terbayar ketika lembaran uang masuk ke gelas plastiknya. Namun, ada pula umat yang tak acuh. Melewati begitu saja jajaran pengemis yang meminta belas kasihan. Teti tak patah semangat, ia tetap berusaha dan berusaha.

Pengemis musiman bukan hanya Teti. Irma (60) pun demikian. Ia sudah renta, tetapi harus tetap berjuang untuk sesuap nasi. Irma berpakaian kumal, terlihat dari bercak-bercak kotor yang menempel di pakaiannya yang tipis. Rambutnya yang mungkin sudah memutih semua ia tutupi dengan kain yang tak kalah kumalnya. Tubuh kurusnya berbalut kulit yang sudah keriput.

Sudah sepuluh tahun lamanya Irma mengemis di Masjid Al-Muhajirien saat Shalat Ied. Tubuhnya tak segesit Teti yang masih muda. Gerakannya terbatas. Ia mengandalkan suaranya yang lirih untuk mendapatkan perhatian umat. “Buat Lebaran, Pak... Buat Lebaran, Bu...,” begitu ujarnya.

Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai kuli angkut barang. Namun, penghasilannya tidak sepadan, hanya sepiring nasi. Ia tak puas. Baginya, lebih baik mengemis daripada menjadi kuli dengan upah yang tak layak.

Irma mempunyai delapan anak yang juga hidup susah. Anak-anaknya tidak tahu tentang pekerjaannya sebagai pengemis musiman. Irma tak punya pilihan. Suaminya sudah meninggal. Ia menua dan tak mau merepotkan anak-anaknya yang juga kekurangan. Walaupun begitu, ia bertekad ini adalah tahun terakhirnya menjadi pengemis musiman.

Ada pula pengemis musiman di bawah umur. Namanya Emus (11). Anak perempuan yang memakai baju lengan pendek dan celana sepanjang lutut itu merupakan siswa Sekolah Dasar. Ia sudah mengemis di Masjid Al-Muhajirien saat Hari Raya Idul Fitri sejak tahun 2005. Menurutnya, orang-orang menjadi lebih baik hati ketika Lebaran. “Mungkin karena ini Bulan Ramadhan, orang-orang jadi banyak berbuat amal,” katanya datar.

Ibu dan kakak perempuan Emus juga ikut menjadi pengemis musiman saat Hari Raya Idul Fitri. Sehari-harinya, ibu Emus bekerja sebagai pemulung. Tak jarang, kedua anaknya turut membantu pekerjaannya. Emus harus mengais tempat sampah sepulang sekolah di saat anak-anak perempuan lainnya bermain seusai sekolah. Emus mengaku bisa mendapatkan maksimal Rp50.000 saat mengemis di kala Shalat Ied. Teti dan Irma pun sependapat.

Menurut Satpam Masjid Al-Muhajirien, Suparman, jumlah pengemis memang selalu meningkat di kala Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya. Hal itu sudah semacam tradisi. Wakil Sekretaris Masjid Al-Muhajirien, Muchdor (41), pun mengatakan hal yang serupa. “Sebenarnya kemarin saat Malam Takbiran pihak masjid sudah membagikan zakat fitrah kepada para pengemis itu,” katanya.

Teti dan teman-temannya sulit mengungkapkan makna Lebaran walaupun seorang Muslim. Bahkan, Teti mengaku tidak pernah menjalankan Shalat Ied. “Lebaran bukanlah sesuatu yang spesial buat saya, soalnya saya tidak punya saudara,” jelas Teti.

Irma yang masih memiliki keluarga berpendapat lain. “Lebaran? Boro-boro. Saya saja bingung bagaimana caranya saya pulang kampung karena tak ada ongkos,” ungkapnya sambil menghela napas panjang. Baginya pula, puasa ataupun tidak puasa sama saja, karena toh ia tidak punya uang untuk membeli makan sehari-hari.

Jawaban polos meluncur dari bibir Emus ketika ditanya mengenai makna Lebaran. “Lebaran? Apa, ya? Maaf-maafan mungkin,” ujarnya sambil cengar-cengir. Emus mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh pengharapan. “Saya harap Lebaran tahun depan kehidupan keluarga saya dapat lebih baik lagi,” kata Emus datar. (Yohannie Linggasari)