RSS

Rabu, 28 April 2010

Review Film: Alangkah Lucunya Negeri Ini

Okay, pertamanya gw nggak minat pas lihat judul film ini "Alangkah Lucunya Negeri Ini." Nggak menjual aja bagi gw. Sampai akhirnya semua temen-temen gw yang udah nonton pada bilang bagus dan recommend ini film banget. Akhirnya gw penasaran deh... Pas banget tadi sore tuh mati lampu, jadi gw dan seorang teman gw memutuskan buat mengungsi ke Jatos dan menonton film ini! Gw bertanya-tanya, emangnya lucunya gimana?

Cerita berawal dari seorang sarjana manajemen bernama Muluk yang melamar pekerjaan ke berbagai tempat tapi tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Perubahan dalam hidupnya berawal ketika ia mengamati seorang pencopet pasar bernama Komet. Ia kemudian berniat untuk me-manage para pencopet yang rata-rata adalah anak kecil dan remaja. Oke, lucu juga nih film..!

Muluk kemudian mengatur uang hasil copet mereka. Sepuluh persennya akan disimpan untuk membuka usaha. Pada awalnya, bocah-bocah pencopet ini menolak. Ya pasti lah yah, cape-cape nyopet, mempertaruhkan nyawa dan harga diri (?) kok diminta gitu aja. Namun, pengurus para copet itu memerintahkan agar bocah-bocah pencopet itu menurut. Dengan terpaksa, nurut juga mereka.
Visi Muluk ini sebenarnya nggak muluk-muluk kayak namanya (naon?!). Dia cuman pengen para pencopet ini berubah dari pencopet menjadi pedagang asongan kemudian membuka toko. Ia mengumpulkan 10% hasil mencopet untuk membuka usaha itu. Tetapi, mengubah mental pencopet ini yang sangat sulit. Udah kebiasaan nyopet, dapet duit banyak, terus tiba-tiba disuruh dagang cape-cape. Kalau boleh minjem istilah dari mata kuliah KLB (Komunikasi Lintas Budaya), culture shock banget gitu loh!!




Mereka kemudian diajarkan membaca, menulis, Pancasila, dan mengaji. Muluk meminta bantuan kedua orang temannya yaitu Syamsul yang adalah Sarjana Pendidikan dan Pipit yang adalah anak dari seorang Pak Haji. Pertama-tama, mereka sangat kaget karena harus mengajar bocah-bocah pencopet, tetapi lama-kelamaan mereka mulai menikmatinya. Sampai akhirnya, ayah Muluk dan Pipit, serta calon mertua Muluk mengetahui apa sebenarnya pekerjaan mereka. Di sinilah konflik dimulai. Ayah Pipit dan Muluk tidak setuju dengan pekerjaan anak-anak mereka. Mereka menganggap uang yang mereka hasilkan adalah uang haram. Muluk dan Pipit pun mulai goyah dan memutuskan berhenti mendidik bocah-bocah itu, begitu juga dengan Syamsul.

Dari sekian banyak bocah-bocah pencopet, 6 di antaranya memutuskan untuk menjadi pedagang asongan. Sedangkan sisanya tetap mencopet. Endingnya agak bikin "nyeeess" karena nggak happy ending. Hehehe. Jadi, digambarkan Komet dan teman-temannya yang memutuskan untuk menjadi pedagang asongan harus berkejar-kejaran dengan SATPOL PP karena dianggap mengganggu lalu lintas. Muluk yang kebetulan saat itu sedang berada di jalan yang sama, membela mereka mati-matian. Dan eng ing eng, Muluk deh yang ditangkep SATPOL PP. Errr errrrrr..... Ending yang sangat "nyeeessss" bagi gw.

Film ini mengandung kritik yang menggelitik kepada pemerintah dan kepada kita semua. Kepada pemerintah yaitu tidak adanya tanggung jawab pemerintah terhadap anak-anak telantar yang seharusnya dilindungi oleh negara sesuai yang tercantum dalam UUD'45. Kepada kita semua yaitu betapa tidak adilnya perlakuan terhadap pencopet ketimbang pejabat yang korupsi. Contohnya maling ayam aja deh yah! (Karena gw suka makan ayam *naon?*). Maling ayam banyak yang dihakimi massa sampai tewas sedangkan para koruptor bisa hidup dengan enak dengan tenang bahkan membeli hukum.

Walaupun penuh kritik, namun film ini dikemas dengan unsur-unsur komedi yang renyah sehingga tidak membosankan dan menarik untuk ditonton. Dan tentunya, sangat menginspirasi! Memang negeri kita ini benar-benar lucu! :)

0 komentar:

Posting Komentar